Sub Bab 19 | Sewajarnya

4.3K 425 30
                                    

Bukan tidak mengerti, aku sengaja tidak ingin mengerti
_

________________________________________

nb: please play "muak" by aruma

Denting lonceng kuno yang sengaja dipasang agar berbunyi berpasangan dengan derit pintu, menandakan bahwa pengunjung baru telah tiba. Arsene dikejutkan dengan kedatangan Elang di Kafe baca tempat dia bekerja. Hampir lima menit lamannya dia menunggu Elang berbicara, wajahnya sirat akan banyak hal dan Arsene segera mendorong secangkir teh chamomile yang beraroma untuk Elang. 

Sesuai dugaan bahwa anak itu menghirup aroma pekatnnya dalam-dalam baru ia putuskan untuk sesap rasa manis serta wanginnya. Pikirannya ringan sejenak bawa dia berlari susuri khayalan semu saat pejamkan mata demi tenangkan pikiran yang semrawut.

Rasakan sentuhan kecil pada rambutnya buat Elang buka mata untuk tubrukan jelagannya pada si cokelat madu yang berkilat khawatir. "Ada yang mau di omongin?"

"Gue ganggu jam kerja lo, Sen?"

"Engga, gua ada yang gantiin tadi udah ijin, kenapa, sayangku?"

Elang menatap Arsene cukup lama, tolak panggilan seperti itu dari Arsene lewat matanya bahkan Arsene sampai lunturkan senyum jahil yang berniat cairkan suasana diganti dengan helaan napas serta tarik tangannya dan melipat di atas meja, memperhatikan Elang yang bersiap untuk bicara.

"Kita jangan gini terus, ya?"

Arsene tertegun. Sempurna tatap si jelaga yang bergulir gelisah di depan dirinya, menolak untuk pertemukan Arsene dengan tatapannya yang sendu. diraihnya dagu yang lebih muda untuk tarik atensi agar sosoknya yang berada di depan ini sudi untuk ditatap Elang.

"Gini gimana, Lang? lo gak suka gue panggil sayang dan sejenisnya?"

"Engga. Ga gitu, bukan itu, Arsene."

"Terus apa, Elang? apa? jelasin ke gue apa yang lo mau."

Elang genggam tangan yang terkepal di atas meja, sosok di depannya sudah kepalang panik sodorkan pertanyaan tanpa di minta, sudutkan dia dengan bertubi-tubi kekhawatiran yang sama. Senyum lembutnya sudah terpampang di depan Arsene tapi entah mengapa, entah mengapa Arsene tidak suka senyum si kecilnya kali ini.

"Gue mau," tenggorokannya tercekat, pasir-pasir yang rasannya tutupi pernapasan sampai dia harus tarik napas dalam-dalam sembari mengelus jemari Arsene lalu melanjutkan pembicaraan. "Gue mau kita jalanin pertemanan sewajarnya, tanpa ada ini." Tangan Elang naik ke atas untuk sentuh dada Arsene.

Arsene tahan tangan Elang, di bawannya telapak tangan yang sering layangkan pukulan-pukulan jahil itu ke pipinya, menutup mata untuk nikmati halusnya sentuhan Elang di sana. "Gue gak ngerti apa yang lo omongin, gue gak ngerti, Lang. Gak ngerti sama sekali."

Helaan napas terdengar, sentuhan tangan di pipi satunya buat Arsene membuka matanya. Senyum Elang di depan sekarang adalah yang paling terakhir ingin dia lihat, di genggamnya kedua tangan yang sama-sama berada di pipinya saat ini. Sama-sama tidak hindari kontak mata dan berbagi perasaan tanpa ungkapan dari sana, sesuatu di antara satu sama lain yang enggan dan tidak mampu ungkapkan pada diri di depannya.

"Harus bisa ngerti, Arsene. Gue tau lo bakal paham nanti. Kita tetep temenan tapi kita ga boleh melebihi batas wajar, ya? gue pulang dulu, kerja yang rajin." Setelah elusan terakhir di pipi Arsene, dia beranjak untuk pergi meninggalkan Arsene yang sorakkan namanya, Elang bukan tidak ingin menoleh tapi kalau dia sampai lihat kembali raga semrawut Arsene kini, maka seluruh pertahanan dirinya akan luruh. Bunda bakal sedih.

"Bangsat." Gumaman berisi umpatannya di redam oleh usapan kasar di wajahnya yang kacau, hati nya sama kacaunya. Kalau bisa dia tidak mau bertemu Elang hari ini, dia tidak mau mendengar sesuatu yang menyedihkan itu dari bibir teman kecilnya. Sama sekali tidak.

Apa ini karena ajakan berpacarannya waktu itu? tapi mengapa sekarang Elang sebegini enggannya padahal sebelum itu Arsene masih yakin lihat semburat rona pada malam yang dingin sebelum pipinnya lebam oleh bogem mentah.

"Apanya yang sewajarnya, Lang. Apa?"

Pertanyaan itu, dan pembicaraannya dengan Elang beberapa menit yang lalu sanggup buat dia hilang pokus selama bekerja, hancurkan harinya, dan hilangkan gairah semangatnya. Hari-hari di kampusnya juga menjadi semembosankan itu, tanpa Elang hampannya sedia menyapa.

Katannya, mereka masih boleh berteman seperti biasa, tapi bahkan hadirnya ditolak oleh yang lebih muda. Elang enggan bertemu sapa dengan Arsene, bahkan sekedar membalas pesan singkatnya.

Arsene frustasi. Elang itu segalannya. Sekarang dia sudah tidak punya apa-apa, persis mayat hidup yang mengelilingi kota untuk lupakan si jelaga yang biasanya hadir tiap harinya.

-o0o-

TBC

Pesawat Kertas [TELAH DITERBITKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang