Sub Bab 18 | Kecewa

4.6K 472 31
                                    

Bunda saja kecewa, apalagi aku
_________________________________________


"Hati-hati, Yah." Elang mencium tangan Ayahnya, masih tetap mengunyah lauk dan pauk di dalam mulut dia memperhatikan sang ibu yang mengantarkan Ayahnya sampai depan pintu sampai akhirnya berpamitan dan kembali ke meja makan tepat di sebelah Elang.

"Maem, Bun." Diambilnya tahu dan tempe masing-masing satu kemudian ditaruh di piring dan melanjutkan sarapan paginya. Bunda Elang memperhatikan sembari tersenyum kecil, senang sekali lihat Elang makan dengan lahapnya, sebagai tanda kebanggaan dia usap surai legam yang persis seperti miliknya itu.

"Kapan ujian kelulusannya, Lang?" Mengobrol saat makan memang tidak baik, tapi tidak dapat ditahan lagi rasa rindu kepada putra bungsunya ini sebab beberapa hari si kecil hanya sibuk dengan sekolahnya dan Arsene, benar, Arsene.

Diteguk air di dalam gelas kemudian menyahut, "Katanya udah gak ada ujian, Bun, cuman ujian praktek buat nambahin nilai habis itu raportnya dikirim deh buat seleksi SNMPTN. Ujian prakteknya minggu depan, kenapa emang, Bun?"

"Nanya aja Bunda, masa cuman Arsene yang boleh tau kegiatan kamu?"

Air diteguk lagi sampai tandas, tenggorokannya mendadak serak.

"Elang."

"Iya, Bunda?"

Wanita itu meneliti putrannya yang sudah sebesar ini, rambut hitam semi gelombang, pemicu masalahan dari yang paling ringan sampai harus diskors seperti kemarin, ia rasa dirinya belum banyak tahu-menahu tentang putranya, tapi dia yakin dia cukup paham bahwa naluri ibu selalu berdenting di saat waktu yang sempurna. senyum merekah di wajah setengah bayanya yang masih cantik. Selalu cantik.

"Elang lagi suka sama seseorang? masa dari dulu gak pernah ada yang di bawa ke rumah?"

Elang diam sejenak sebelum menanggapi, "gak ada, Bun, Elang aja sibuk mikirin sekolah masa disuruh cape-cape mikirin pacar juga."

Bundanya masih memperhatikan dan kini dagunnya ditumpu dengan jemari yang dilipat sementara bertumpu pada siku. Menoleh ke arahnya. " 'Kan Bunda bilangnya suka, gak ada emang? satu pun?"

Elang menyuap nasi terakhirnya, menggeleng dan menghindari kontak mata dengan ibunya, mendadak otaknya memutar memori kejadian semalam, kejadian sebelum Arsene mendapatkan luka lebam di pipi. "Elang gak tau, gak ada kali?"

Raut wajah ibunya mengerut jahil, "kok jawabannya gak meyakinkan gitu?" Bundannya menepuk kepala Elang yang baru selesai makan. "Elang boleh kok suka-suka ke orang buat penyemangat."

"Tapi, Bun." Elang melirik ibunya ragu-ragu. "Gimana misalnya kalau Elang suka sama orang yang salah, maksudnya bukan orangnya yang salah, kayak... ya salah gitu, gimana ya.."

"Suka sama cowo?"

Elang terkesiap, dirinya mati-matian hindari kalimat tersebut dan mencari kosa kata yang lebih halus agar ibunya tidak menduga ke arah sana tetapi apalah daya saat sang Bunda duluan yang berucap demikian. 

"Suka sama cowo, 'kan, maksud Elang?" Senyum ibunya berubah sendu yang teduh sekali, ada sebagian di hati Elang yang rasakan sensasi sakit sesaat setelah menatap mata penuh makna milik sang ibu. "Bunda rasa gak ada yang salah? hmm bukan gak salah sih, 'kan yang jalanin anak Bunda jadi gimana bahagianya Elang aja."

Elang masih terdiam tidak sanggup menyahut saat ibunya mengelus punggung tangannya dengan ibu jari. "Elang, kalau ada orang yang nunjukin kasih sayang itu bilang terimakasih ya, nak, jangan di pukul orangnya, kasian. Sudah ditolak, dipukul pula."

Bertambah rasa terkejutnya, dia memandang Bundanya yang menyelami jelaga hitam miliknya, tatapan penuh arti dan keingin tahuan, belum sempat Elang berucap apa-apa Bundannya berdiri dan mengusak kepalannya sembari berbicara sambil lalu.

"Nanti minta maaf ya sama Arsene, pipinya biru kemarin."

Ditinggalnya Elang yang masih dalam posisi menegang di kursi dan kepala semrawut, dia hampir teteskan air mata sangking paniknya, gelengkan kepala dan genggam tanganya keras-keras, dia tidak pernah salah menilai orang, apalagi Bundanya sendiri. Tatapan sang ibu tadi sarat akan sesuatu yang menghujam Elang dengan rasa getir dan takut.

"Bunda kecewa, ya?" Gumamnnya sangat kecil, sampai suara hatinya sendiri pun tak mampu lagi ia dengar.

-o0o-

TBC

Pesawat Kertas [TELAH DITERBITKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang