Sub Bab 23 | Aku Selalu Hadir

4.2K 452 49
                                    

"Elang?! nak?"

Arsene buka mata penuh kantuknya, dia berdiri saat mendengar suara Ayah Elang dari dalam ruangan. diangkatnya lengan untuk memeriksa pukul berapa kiranya sekarang, 02.23. Arsene baru bisa tidur dan sekarang dia dengan terburu-buru bangkit dari kursi tunggu menuju ke depan pintu, melihat bahwa raga kurus Elang berada di atas kasur rumah sakit, senyum lemahnya, mata sayu miliknya, dan selang infus.

Arsene tidak berhenti memperhatikan bagaimana interaksi Elang dan sang Ayah, dia terkesiap saat matanya seperskian detik bertemu dengan manik mata Elang, namun Elang berpaling membuat Arsene tersenyum getir.

Bahunya disentuh.

"Arsene mau liat Elang?"

"Arsene dari sini aja, Bun."

Bunda Elang tersenyum, dia masih sempat mengelus pipi orang yang sudah dia anggap putranya sendiri itu. Bunda Elang terburu masuk ke dalam ruangan dan memeluk putranya yang memaksakan diri untuk duduk.

Arsene menyunggingkan senyum tipis saat melihat interaksi antara orang tua dan anak itu, rasanya dia juga ingin bergabung dan memeluk Elang seerat mungkin, merengkuh raga ringkih dalam dekapannya, menyaksikan senyum manisnya kembali, dan ujaran-ujaran jahilnya. Arsene rindu, rindu sekali.

Tidak lama sebelum dia berbalik untuk pergi pintu kamar itu terbuka, menampilkan wajah ibunda Elang yang sendu dan tersenyum ke arahnya.

"Arsene masuk ya? Elang mau lihat kamu."

Arsene setengah percaya, tapi dirinya rasa itu hanya buaian agar pertengkarannya dengan Elang tidak berlangsung lebih lama. Arsene menggeleng, "Arsene disini aj-"

"Arsene?"

Suaranya.

Arsene menggeser sedikit tubuhnya agar bisa melihat Elang yang menatapnya, dia hampir titihkan air yang tergenang di pelupuk mata, sekuat hati menjawab sambil tersenyum penuh canggung dan lidahnya hampir kelu.

"Ya?"

"Arsene, kesini."

Arsene bungkam, wajah pucat Elang di sana terlihat jelas dari sini, pucuk rambut yang mencuat, dan tangan yang memilin selimut.

"Arsene? lo gak mau liat gue lagi, ya?"

Arsene menggeleng, air matanya jatuh tanpa diminta. Dia menatap ibu Elang yang memberikan anggukan singkat sebagai aba-aba, Arsene berjalan gontai ke arah kasur Elang tidak berkata apa-apa selain berdiri di depan pria itu.

"Lo nangis?"

Arsene menggeleng.

"Bohong. Arsene lo-"

Arsene memeluk raga itu. akhirnya. akhirnya dia bisa rengkuh seseorang yang dirindukannya sekian lama, dikecupnya pucuk kepala Elang dan merasakan tangan melingkar di pinggangnya.

"Apa yang sakit, Lang? kasih tau gue, apa yang sakit, hm?" Arsene mengelus punggung Elang dan terus saja kecupi pucuk kepala si surai hitam legam yang sekarang tampak mencuat kesana dan kemari, tidak berarti apa-apa untuknya, Elang tetaplah indah sebagai perumpama kesatria di atas kuda. Elang lebih indah dari mentari yang bersinar congkak. Elangnya indah sekali.

Elang menggeleng, sembunyikan wajah di perut Arsene air matanya tidak sanggup lagi dia tahan saat suara bergetar Arsene yang bertanya demikian terdengar olehnya, maka keduanya tidak menyadari bahwa Ayah dan Bunda Elang sudah pergi dari sana meninggalkan kedua teman masa kecil itu hanyut dalam dunia mereka yang kembali seperti semula.

"Arsene, Elang sakit." Elang cengkeram begitu erat baju belakang Arsene sampai buku-buku jarinya memutih, tenggorokannya tercekat oleh isak tangis. Dia masih rasakan sentuhan Arsene pada punggungnya dengan lembut, tidak sekalipun tinggalkan Elang ataupun protes karena bajunya basah oleh air mata si manik jelaga.

"Di mana yang sakit, sayang? ngomong sama Arsene."

Arsene tarik diri untuk lihat wajah sembab Elang, dia tersenyum kecil dan hapus air mata pria itu, dikecupnya sekali lagi dahi pria yang sangat amat hati besarnya rindukan. "Yang mana yang sakit?"

"Ini. ini sakit banget, Arsene. Sakit banget, gue cape."

Arsene rasakan ulu hatinya dirajam, Elang pukul dadanya sambil menangis. Mata sembab semi biru dan tubuh kurusnya saat ini buat Arsene benar-benar sakit hati, dia marah sekali lagi pada dirinya, pada bajingan yang buat Elang jadi sedemikian rupa. Tidak sekali pun Arsene maafkan entitas yang hancurkan Elangnya.

Arsene sejajarkan wajahnya pada Elang yang tersendat oleh rasa sakit hati yang teramat. Disentuhnya dada yang masih dipukul kecil oleh Elang. "Jangan dipukul, Lang, nanti makin sakit. gue sedih kalo lo sakit, gue gak punya siapa-siapa lagi."

Elang tatap manik cokelat itu, dia menyentuh pipi Arsene dan mengelusnya, air matanya masih deras meluncur tanpa berniat berhenti sebab rasa sakitnya juga tidak punya alasan untuk pergi.

"Arsene."

"Iya, sayangnya Arsene?"

Elang merasakan Arsene menyentuh tangannya yang berada di pipi pria itu.

"Arsene, gue udah gak bisa jadi Jaksa, ya?"

Arsene terdiam, mengingat bahwa Elang meninggalkan ujian terakhirnya cukup lama, dan sekarang apa? apa yang harus dia lakukan saat melihat wajah putus asa di depannya ini?

Maka yang Elang lakukan adalah memeluk raga rapuh itu, dibisikkannya kalimat-kalimat menenangkan.

Dan salah satunya berimbuh, "Bisa, lo bisa."

Pelukannya makin erat, perasaannya makin melekat, belum jelas siapa yang akan mengungkapkan, tapi entah Arsene atau Elang, keduanya sama-sama saling membutuhkan.

-o0o-
TBC

Pesawat Kertas [TELAH DITERBITKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang