Sub Bab 22 | Cepet Sembuh

4.3K 418 35
                                    

"Arsene? Mau ketemu Elang? kenapa bajunya kotor gitu, nak."

Arsene buru-buru berdiri ketika Ayah Elang berada di depannya dengan tas berisi baju ganti untuk Elang yang masih terbaring di rumah sakit, sudah dua hari anak laki-laki itu belum mau membuka matanya, entah mimpi indah macam apa yang di laluinya di alam bawah sadar, Arsene hanya berharap setelah bangun Elang lupa tentang rasa sakitnya.

"Gak apa-apa, Yah, jatoh dikit tadi. Arsene nanti aja ketemu Elangnya."

Ditatap nanar senyum yang tersungging canggung di depannya, dia saksi bahwa Arsene tanpa henti menunggu Elang di depan ruang pasien sampai terkantuk-kantuk dan mengerjakan tugas kuliahnya di sana.  Tapi, tidak sekalipun Arsene masuk untuk menyapa Elang yang masih pingsan dengan lebam dimana-mana. Berkali-kali ia dapati bahwa sosok yang sering menjadi tumpuan putranya ini menatap lewat kaca kecil di pintu kamar pasien, kadang tersenyum, kadang juga kosong.

"Elang pasti kangen sekali sama kamu." Arsene tersenyum getir, dia ikut duduk saat Ayah Elang itu mengistirahatkan raganya di kursi tunggu dan singkirkan terlebih dahulu tas berisi baju ganti. "Dulu, waktu kecil dia gembira banget bilang ada kakak-kakak yang mau nemenin dia, Ayah inget banget waktu Elang bawa kamu ke rumah buat main, kok ya mau di ajak main anak SMP sementara kamu katanya kelas 2 SMA waktu itu. Ayah kaget banget, awalnya wanti-wanti gak nyangka ya pertemanan kalian awet banget."

Arsene terkekeh dengar tawa dari Ayah Elang itu, sosoknya sempat di dapati Arsene dalam keterpurukan ketika mendengar putranya korban pelecehan sesama jenis, Arsene ingat betul bagaimana wajah mengeras sang Ayah itu saat mengusut perilaku pelecehan putrannya ke ranah hukum. Persidangannya sedang di proses dan Arsene masih sempat berikan bogem berkali-kali pada Zacki sebelum berangkat kesini, bergelut tumpang tindih bersama bajingan sinting yang buat sayangnya jadi seperti ini, Arsene akan usut sampai mati dan pastikan neraka tidak izinkan Zacki pergi. Pasti.

"Dulu Arsene gak sengaja nyenggol Elang sampai jatuh, dia teriak ke Arsene kalau bekal buatan Bunda jadi tumpah semua. Hampir nangis gitu, mau gak mau Arsene turutin aja kemauannya buat temenan. Awalnya juga Arsene gak begitu peduli, tapi Elang manis, manis sekali." Tuturnya begitu menghayati, buat sang Ayah mau tak mau ikut tersenyum.

"Boleh Ayah tau hubungan kamu sama Elang sampai sekarang?"

"Temen, keluarga, adek, sahabat, mana yang duluan Ayah mau tau?"

"Soal ini, nak." Ayah Elang tepuk dada Arsene dan tersenyum saat menemui raut wajah terkejut dari teman kecil putranya itu. "Soal perasaan Arsene ke Elang, soal pertemanan kalian yang tabu itu, Ayah mau tau. Ayah mau tau gimana perasaan anak-anak Ayah, seberapa rumit, dan seberapa sulit."

Arsene dan pria paruh baya di sampingnya sama-sama saling tatap, ada sudut terbesar di dalam hatinya yang bersyukur sekali bahwa pertemuannya dengan Elang bukanlah malapetaka, bahwa kasih sayang orang tua yang tidak pernah dia dapat kini dengan murah hati orang tua Elang berikan. Tidak sanggup lagi tampung seluruh sesak dan beban yang hujam punggung serta bahunya, Arsene tertunduk menitikan air mata di samping Ayah yang pernah menjadi mertuanya itu. Arsene roboh di hadapan pria yang anggap dia sebagai anak tersebut.

Ayah Elang rengkuh tubuh kokoh Arsene yang sekarang serapuh kayu lapuk. Ditepuknya punggung yang bergetar serta berikan usapan pada rambutnya.

"Maafin Arsene, Yah."

"Kenapa minta maaf, Arsene? Elang saja bahagia punya kamu, kenapa Ayah harus sedih? Ayah kecewa karena kalian gak ngomong apapun ke Ayah, kalau bukan Bunda yang bilang ke Ayah buat perhatiin gerak-gerik kalian, kapan Ayah bisa tau, Arsene?"

Dilepasnya rengkuhan itu, wajah sembab dari lelaki yang kini sudah sangat amat tegar sanggup buat pria setengah baya terkekeh geli, dia menepuk kepala Arsene.

"Hubungannya mungkin salah, tapi kalian gak pernah minta untuk jatuh cinta satu sama lain. Arsene, jagain anak bungsu Ayah, ya?"

Arsene mengangguk, mengusap kasar sisa air mata di pelupuknya. "Pasti." Ayah Elang tersenyum dan beranjak dari sana, Arsene buru-buru memanggilnya. "Ayah.."

"Iya, nak?"

"Tolong bolehin Arsene buat liat Elang sebagai pria, lebih dari teman atau adek."

Ayah Elang tertawa singkat. "Liat apa kata Elang nanti. Kalau kamu sudah siap, temui Elang, ya. Ayah masuk dulu."

Ditengah hujan yang menghujami kota, di mana bau obat tercium dan deret-deret makanan berseliweran masuk ke kamar pasien, Arsene duduk di salah satu kursi menanti Elang dengan perasaan tak jemu dan kali ini lebih ringan.

Cepet sembuh, sayangnya Arsene. 

-o0o-

TBC

Pesawat Kertas [TELAH DITERBITKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang