Chapter 8

52 5 1
                                    

"La besok pagi aku berangkat ke Bali untuk ngurusin proyek di sana, kamu nggak papa kan sendirian di apartemen? Klo nggak berani kuantar ke rumah Mama ya?" Ucap Arfan memecah kesunyian tanpa mengalihkan fokusnya dari layar persegi empat di hadapannya yang menampilkan orang berlarian mengejar dan berebut bola, sudah sejam lebih Layla hanya diam menemani Arfan menonton sepak bola, ia sandarkan tubuhnya pada punggung sofa sambil asyik bermain dengan ponselnya.

"Hei, dengar nggak ucapannku?" Panggil Arfan lalu mencubit hidung mancung Layla dengan gemas.

"Mmm ...," gumam Layla tak bersemangat sambil menatap Arfan sekilas, jujur dalam hati Layla tidak rela Arfan pergi ke Bali.

Klik ... Arfan memencet tombol off pada remot kontrol televisi lalu meletakkan di atas meja.

"Hai kamu kenapa? Lagi PMS? Kata temenku klo cewek lagi PMS bawaannya bete dan bad mood mulu," cecar Arfan lembut lalu berpindah posisi menghadap Layla, ia perhatikan Layla yang masih sibuk dengan ponselnya dengan tersenyum, semakin hari Layla semakin terlihat menarik di matanya.

"Ngga papa Fan, mmm .. Antar aku ke rumah Mama aja deh," sahut Layla singkat seraya membalas senyuman Arfan.

Deg ... Arfan baru menyadari jika Layla memiliki lesung pipi yang membuatnya semakin manis saat tersenyum. Arfan menggelengkan kepala untuk mengenyahkan pikirannya tentang Layla. Ia bingung dengan perasaannya yang tiba-tiba terasa berbeda. Apa mungkin ia mulai jatuh cinta?

"Ok, besok jadwal penerbanganku jam 10, kamu siap-siap jam 9 ya sekalian aku antar ke rumah Mama?" jawab Arfan dengan tersenyum. Lalu Layla mengangguk dan beranjak menuju kamarnya dengan langkah gontai.

"Oya berapa lama?" Tanya Layla saat hendak memegang handel pintu lalu berbalik badan menatap Arfan.

"Sekitar tiga hari aku di sana, trus minggu depan aku juga harus ke Malang untuk ngecek proyek yang sudah berjalan di sana," terang Arfan masih menatap Layla sedangkan kepalanya bertumpu pada tangan kirinya yang bersandar pada punggung sofa.

"Ok," balas Layla singkat lalu masuk ke dalam kamarnya.

***

Pagi harinya Arfan hanya sarapan roti dan minum segelas susu, ia sendiri yang meminta Layla menyiapkan agar tidak merepotkan. Layla ke luar kamarnya dengan menenteng tas ransel lalu meletakkan di atas kursi, Arfan perhatikan Layla dengan saksama tanpa gadis itu sadari saat sedang membereskan dapur. Gadis itu berpenampilan sederhana seperti biasa, dengan celana jeans abu-abu berpadu dengan t-shirts berwarna putih dan hijab bermotif abstrak, ternyata penilaian Arfan selama ini salah, Layla tidak sekurus seperti yang dipikirkannya selama ini, tubuh Layla tinggi sekitar 175 cm dengan perut langsing, di beberapa bagian tampak menonjol yang membuatnya tampak seksi.

"Pulang dari Bali aku antar kamu beli pakaian, jangan pake ketat-ketat gini." Arfan mengucapkannya dengan santai tapi tidak dengan Layla. Ia bingung mengapa Arfan mulai seenaknya sendiri mengatur penampilannya.

"Emang kenapa dengan pakaianku, masih bagus dan ... Sopan," balas Layla sambil menelisik seluruh tubuhnya, dan tidak ada yang salah. Arfan mendengus kesal lalu berjalan mendekati Layla yang berdiri di depan wastafel.

"Aku nggak mau tubuh istriku dinikmati mata laki-laki lain," ucap Arfan seperti tegas seperti mengintimidasi Layla. Layla hanya mengedikkan bahu lalu mengambil tas ranselnya. Dalam hati ia tersenyum karena Arfan mau mengakui dirinya sebagai istri.

"Ayo berangkat!" Ajak Layla pura-pura tidak memerdulikan ucapan Arfan.

Dengan kesal Arfan masuk ke dalam kamar Layla dan mengambil cardigan panjang berwarna hitam yang tersampir di kursi meja rias. Arfan memakaikan di tubuh Layla tanpa berucap, Layla membeku, menatap wajah datar Arfan yang berada di hadapannya sambil berusaha mereda degup jantungnya.

Contract Marriage (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang