018

1.2K 204 64
                                        

“Selama ini lu beneran ke luar kota? Ikut bokap nyokap lu?” tanya Elang pada Darell yang tengah memasukkan sesendok nasi goreng ke mulutnya.

Sore ini mereka ber-dua sedang nongkrong di sebuah warteg. Darell yang mengusulkan, sengaja hanya mengajak Elang karena ingin membicarakan sesuatu katanya.

“Iya, kayaknya gue kemarin udah bilang gitu,” balasnya tanpa menoleh.

“Sama abang lu juga?”

“Abang gue ‘kan emang kuliah di sana.” Darell meneguk es teh-nya hingga tersisa setengah gelas.

Tak berhenti sampai di situ, Elang kembali bertanya. “Terus kenapa lu nggak bilang dulu ke gue atau Amora? Malah langsung ngilang, rumah kosong, nomor lu nggak bisa dihubungin. Mana guru kelasnya dulu cuma bilang kalau lu pindah sekolah tanpa ngasih tau kemana pindahnya,” cerocos Elang diakhiri dengan decakan sebal.

Darell terkekeh dengan wajah tanpa dosanya. “Hehe, sengaja biar lu pada panik.”

“Babi, lu!” Elang mengeplak belakang kepala Darell dengan sedikit keras. Kesal tentu saja.

“Nggak, anjir! Bercanda!” timpal Darell sambil tertawa.

“Yeuu, monyet! Amora sampai nangis-nangis pas tau lu ngilang setelah dia confess,” ungkap Elang membuat tawa Darell mereda.

“Oh iya, itu yang mau gue bicarain.”

Elang yang tadinya menyeruput es teh jadi menoleh. Satu alisnya terangkat menunggu Darell melanjutkan ucapannya.

“Gue sebenernya udah ada rasa sama Amora sebelum dia confess,” ucap Darell. Pandangannya menerawang entah kemana.

Elang berdecih. “Nggak heran sih,” gumamnya.

Darell menoleh. “Lu nyadar?”

Elang sedikit terkekeh. “Gue tahu lu orangnya emang se-peduli itu sama cewek, ngomong manis ke banyak cewek, tapi emang cuma sebatas itu ’kan? Sebatas lu menghargai karena mereka satu kaum sama Mama lu. Tapi gue bisa lihat yang lu lakuin ke Amora itu beda, lebih dari sekedar menghargai,” jelas Elang membuat Darell tersenyum.

Darell tidak menyangka ternyata temannya se-peka itu membaca keadaan. Karena Darell memang tidak pernah bercerita tentang hal barusan pada Elang. Ia kira, Elang tidak akan tahu apapun jika tidak ia beri tahu. Nyatanya sikap Darell sudah terbaca oleh Elang sejak awal.

“Orang yang lu suka, confess ke elu. Tapi kenapa lu nggak kasih jawaban apa-apa sama dia?” celetuk Elang lagi. Hal yang menjadi tanda tanya besar di otak Elang kala itu.

“Waktu itu gue tahu kalau besoknya gue udah nggak di sini lagi. Dari pada gue terima terus bakal LDR, gue milih buat nggak ngasih jawaban apa-apa,” terang Darell singkat.

“Ck, bego!” desis Elang.

“Bokap batasin waktu main gue. Nyuruh fokus belajar di sekolah sama les tiap hari. Gue bahkan hampir nggak pegang ponsel kecuali urusan tugas. Jadi gue pikir LDR-pun nggak bakal berjalan lancar kalau keadaannya kayak gitu,” imbuhnya.

Elang diam. Membenarkan dan merasa setuju juga dengan pemikiran Darell.

“Gue mohon-mohon buat pindah ke sini lagi udah dari lama. Baru dibolehiin sekarang karena mereka pindah tugas di sini.”

Elang terkekeh pelan. “Susah ya jadi keturunan dokter pureblood.”

Iya, orang tua Darell ini memang dua-duanya bekerja sebagai dokter. Ayahnya menjadi dokter syaraf dan ibu-nya menjadi dokter gigi. Sedangkan kakaknya yang belum lama kemarin lulus kuliah kedokteran kini sudah menjadi seorang dokter anak di kota sebelah. Benar-benar definisi keturunan dokter pureblood kalau kata Elang.

Wednesday [Haruto]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang