008

1.6K 368 170
                                    

*






Amora berkacak pinggang kemudian mendengus kasar. Menatap sengit pada pagar besi tinggi di depannya.

"Ini gimana gue manjatnya?!"

Iya, Rabu pagi ini cewek itu sedang menghadap gerbang belakang sekolahnya. Terlambat hampir dua puluh menit dan gerbang depan sudah ditutup. Makanya ia berinisiatif untuk lewat gerbang belakang sebelum ketahuan satpam, guru, ataupun anak OSIS yang mungkin masih berkeliaran. Sialnya gerbang belakang sangat tinggi menurut Mora.

Ini semua salah Amora sendiri sih. Tadi malam dirinya memaksa Elang untuk menemaninya membeli seblak di dekat bundaran kota. Elang sudah mewanti-wanti cewek itu untuk memesan yang tidak terlalu pedas. Tapi ya namanya juga Amora, tidak akan menurut begitu saja dengan ucapan Elang.

Sehabis makan tidak terlalu berefek pada perutnya sih, tapi saat pagi baru terasa. Mora yang bahkan belum sempat sarapan sudah merasakan gejolak tidak baik-baik saja pada perutnya. Membuat cewek itu mendekam selama hampir satu jam di kamar mandi.

Berakhir dengan Elang yang berangkat lebih dahulu dan Amora yang memaksa tetap berangkat bersama ayahnya walaupun telat.

Tadinya ingin kembali pulang saja atau bolos sekalian entah kemana. Tapi mengingat mamanya yang kemungkinan besar akan mengamuk jika tahu putrinya membolos sekolah, maka Amora mengurungkan niatnya. Dia sekarang harus bisa masuk ke area sekolah dan mengikuti pelajaran seperti biasa, walaupun dengan cara memanjat pagar sekalipun.

Mora mulai mendekat pada pagar, memegang besi yang melintang kemudian menghela napas, lagi.

"Huhh. Oke harus bisa. Kalau nggak bisa, bukan Amora Fallencia namanya," ucapnya menyemangati diri sendiri lengkap dengan kekehan di akhir.

Ia angkat kakinya perlahan memanjat besi yang melintang. Menaikinya satu persatu dengan sedikit kesulitan. Maklum, dia dari dulu memang tidak pandai memanjat.

"Lu ngapain?"

Sebuah suara membuat Amora dengan panik segera menoleh. Mendapati Arlan berdiri di belakangnya, lebih tepatnya agak bawah karena Mora sudah hampir mencapai ujung.

Mora kembali menghadap depan, fokus pada acara memanjatnya. "Manjat lah!" ucapnya.

Cewek itu tiba-tiba kembali menoleh ke belakang, menunjuk Arlan dengan satu tangannya. "Lu jangan ngintip!" serunya agak keras. Baru ingat kalau dia pakai rok yang kemungkinan bagian bawahnya akan terlihat jika dia sedang memanjat begini.

Arlan memutar bola matanya malas. Lagian nggak kelihatan kalau dari posisinya berdiri saat ini, kalau maju sekitar tiga langkah lagi ya baru kelihatan, begitu isi pikiran Arlan.

"Turun," ucap cowok itu kemudian.

"Apasih?! Gue nggak mau bolos ya, mau masuk kelas aja," balas Mora sedikit kesal. Lelah Mora tuh, sudah hampir sampai di atas tapi malah disuruh turun. Sia-sia dong dia manjatnya!

"Nggak mau turun?"

"Ya nggak la-, HEH LU MAU NGAPAIN ANJIR?! JANGAN NGINTIP! JAUH-JAUH SANAA!" Mora jadi panik begitu Arlan melangkah mendekatinya. Pikiran cewek itu jadi kemana-mana.

Sedangkan si cowok jangkung itu tetap berjalan mendekati pagar. Terkekeh samar mendengar pekikan Mora yang semakin menjadi. Menyuruhnya untuk menjauh dan jangan macam-macam.

Berusaha mengabaikan suara Mora, Arlan kini menggeser pagar besi itu ke arah samping dengan sedikit susah. Roda di bagian bawahnya sudah berkarat, ditambah beban tubuh Mora yang masih berada di atas membuat pagar jadi lebih sulit digeser.

"Loh? Loh?" heran Mora. Kini menghentikan aksi teriaknya saat pagar besi yang ia panjat sedikit bergeser. Menciptakan space yang tidak terlalu besar tapi cukup untuk dilewati badan mereka.

Wednesday [Haruto]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang