02 - MPLS

71 8 0
                                    

Haloo!!

Abis baca, bantu vote dan komen yaa~

---------------------------------

"Pagi semuanya!" Teriak guru pembimbing di hari pembukaan MPLS.

"Pagi pak!" Saut semua siswa baru di sekolah itu.

"Ingat yang kemarin disuruh bawa?" Tanya guru itu.

"Ingat pak!!"

"Semua kumpulkan ke depan sesuai gugus masing-masing!" Perintahnya. Semua maju satu-persatu buat menaruh tongkat pramuka dan pupuk organik yang disuruh bawa.

Pagi itu cuaca panas banget dan kita di jemur di tengah lapangan. Sementara di belakang guru itu, deretan anggota OSIS berdiri di bawah pohon yang teduh. Rasanya gak adil banget.

Gue baris di barisan paling belakang, sambil tangan nutupin dahi biar gak silau. Gue salfok sama salah satu anggota OSIS itu, kakak itu cantik banget.

-fyi, ni cerita gak mengandung unsur pelangi-

Gue kagum sama senyumnya yang manis banget. Tapi dia gak notis dari tadi gue ngeliatin dia. Keliatannya juga baik banget.

Untuk pertama kalinya, gue punya keinginan untuk berteman sama seseorang. Gue pengen jadi temennya, dia juga kakak kelas. Jadi gue pikir kejadian waktu itu gak bakal terjadi lagi.

Kejadian yang bikin gue trauma sama yang namanya teman, apalagi seangkatan.

"Nah, disini adalah kakak kelas kalian yang menjabat sebagai anggota OSIS yang akan membimbing kalian selama kegiatan MPLS ini berlangsung" jelas guru itu menunjuk deretan kakak kelas dibelakangnya yang mengenakan almamater hitam tanda pengurus OSIS.

Satu persatu mereka mulai memperkenalkan diri, mulai dari jabatan tertinggi yaitu ketua OSIS, lanjut dengan anggota-anggotanya.

Saat nunggu giliran kakak yang tadi, ada lagi satu pengurus OSIS yang keliatan mencolok dimata gue. "Perkenalkan nama kakak Gelsa putri fahira jones. Kakak dari kelas MIPA tiga, panggil aja kak Gelsa" katanya.

"Perkenalkan, nama kakak Vania calista, kakak dari kelas MIPA satu. Panggilan Vania" jelasnya memperkenalkan diri.

Dari semua pengurus OSIS yang memperkenalkan diri, cuma dua itu yang gue simak. Selebihnya, gue gak tertarik dan bodo amat.

Beruntungnya, dua kakak kelas itu jadi pembimbing di gugus gue. Gila, seneng banget. Saat lagi di kelas, keduanya duduk di meja guru sambil main handphone.

Tapi, gue lupa tadi namanya siapa, ni otak kenapa lagi. Di kelas, kakak itu beda jauh sama tadi di lapangan. Wajahnya judes banget dan dia pemarah. Setiap anak cowok yang keluar kelas langsung dia teriakin buat suruh masuk ke dalam.

Liat dia teriak gue jadi takut dan gak berani gerak sama sekali. Tapi, gue tetep pengen temenan sama dia, tapi gue juga takut liat dia. Aneh, gue juga gak tau jelasinnya kaya gimana.

Tapi kakak yang satu lagi, gue ingat namanya Vania. Dia ramah banget dan murah senyum, kebalikan kakak yang tadi.

Berada dikelas itu dengan orang-orang yang gak gue kenal rasanya takut banget. Gue tetap kekeh gak bakal mau berteman sama mereka, udah cukup pengalaman gue sama teman sekelas waktu itu.

Gue duduk diam di kelas sambil mainin pulpen di tangan gue. Gak lama, bel istirahat berbunyi. Semua langsung keluar dari kelas termasuk kakak pembimbing tadi.

Gue tetap diam di kelas karna takut buat keluar. Gue takut buat ketemu orang-orang diluar sana, gue takut bakal diliatin aneh kalo gue keluar sendiri tanpa teman, dan yang paling parah. Gue gak tau kantinnya dimana.

Gue pikir kakak tadi udah beneran pergi ke kelasnya, ternyata enggak. Mereka masih berdiri di pintu kelas sambil ngobrol-ngobrol. Sekilas mereka liat kedalam kelas dan nyadar kalo masih ada gue di dalam.

"Loh? Gak istirahat?" Katanya sambil dua-duanya jalan ke meja gue. Gue gugup banget, gak tau harus jawab apa. Gue takut salah jawab.

"Enggak kak" jawab gue gugup.

"Bawa nasi gak? Kita sampai sore loh" kata kak Vania. Temannya yang satu lagi cuma ikut berdiri di sebelah kak Vania sambil ngeliatin gue dengan wajah judesnya.

"Enggak kak, makan nanti aja"

"Yakin? Nanti sakit perut lo" pintanya lagi. Gue cuma geleng-geleng pelan seraya nunduk.

"Udah biarin aja, yang lain udah ngumpul tuh di ruang OSIS" ajak temennya sambil gandeng tangan kak Vania buat keluar dari kelas.



Gue buka pintu rumah sambil jalan lemes ke kamar. Baru selangkah masuk kedalam, "Nara! Jagain Alexa tuh di kamar kamu. Mama mau keluar sebentar" teriak mama dari kamarnya.

Gue menghela nafas berat. Gue lanjut jalan ke kamar, pas masuk. Semua udah berantakan kayak kapal pecah, gue juga liat Naila duduk santai disana sambil main handphone.

"Naila! Lo gak liatin Lexa? Itu dia berantakin semua kenapa lo biarin!!" Amuk gue udah bener-bener muak sama tu anak.

"Ya lo liatin lah, gue dari tadi udah" jawabnya santai tanpa beralih dari layar handphonenya.

"Lo gak liat gue baru aja pulang? Capek tau gak!" Teriak gue sambil lempar tas gue sembarangan.

"Lo pikir lo doang yang capek? Gue juga! Dari tadi gue jagain dia. Lo dimana?" Bentak balik Naila tatap gue sinis.

"Lexa awas!!" Gue dorong Lexa lumayan kencang buat menjauh dari boneka gue. Boneka itu udah kotor, kena liurnya, kena bekas coklat di tangannya, udah hancur bentuk tu boneka.

Lexa yang baru umur tiga tahun itu langsung nangis setelah gue dorong. Kepala gue yang udah panas milih buat keluar dari kamar dan mandi buat nenangin diri.

Yang makin bikin gue muak, Naila masih sibuk sama gamenya dan biarin Lexa nangis sendirian di kamar.

"Aduh!! Kalah kan! Lo berisik banget dah!" Teriak Naila mulai ngedeketin Lexa yang dari tadi gak berhenti nangis.

"Lo bisa diam gak?!" Bentaknya melototin Lexa. Tu bocah malah makin menjadi-jadi, dia hentak-hentakin kakinya dengan raung yang makin keras.

"Lexa! Diam! Mau es krim? Huh? Mau kan? Makanya diam!" Bujuknya mulai merendahkan nada bicara. Akhirnya Lexa diam dan Naila pergi bawa Lexa keluar buat beliin es krim.

------------------------------

To be continued...

An Older SisterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang