Siapa yang tidak sedih saat mengetahui umurnya sudah tak lama lagi?
------------------------------
Matahari sudah terbit, dan cahayanya merambat kedalam rumah. Menerangi sedikit bagian dari meja makan yang saat ini gue duduki bersama Naila, Lexa, mama dan papa. Gue dan Naila sudah mengenakan seragam sekolah kami, dan papa juga sudah rapi dengan stelan kantornya. Saat mama datang ke meja makan menghidangkan menu sarapan, gue menunduk menatap piring kosong didepan gue.
Dengan mata kosong dan pikiran yang penuh dengan perasaan campur aduk. "Ini gue beneran bakal mati?" Berkali-kali kalimat itu terlintas dibenak gue yang bahkan bikin gue gak bisa tidur semalaman. Ya, itu emang keinginan gue dari dulu. Tapi bukan sekarang, kenapa saat gue udah rasain kehidupan yang nyaman justru itu terkabul? Gue gak mau pergi secepat itu, gue udah terlanjur bikin banyak janji sama semua orang yang gue kenal.
"Tolong anterin Naila dulu kak, sekalian bayarin uang acara perpisahan sekolahnya" ungkap mama kala berdiri di dapur membereskan piring-piring kotor tanpa menghadap kearah gue. Gue diam dan langsung menuju motor yang sudah diduduki oleh Naila terlebih dahulu.
•
•
•"Nar!" Sapa Zelin sesampai gue dikelas. Dia satu-satunya orang yang gak pernah lupa nyapa gue. Gue cuma bisa membalasnya dengan senyuman tipis, gue udah gak bisa nutupin isi kepala gue yang udah berisik banget itu. Selagi berjalan murung menuju meja, Denta menatap gue tajam sampai gue berada tepat disebelahnya.
"Benci gue sama lo, Nar... Lo janji kan kita bakal pake baju samaan pas lulus nanti" Denta langsung berdiri menghentakkan kursinya sesaat setelah gue duduk di bangku sebelahnya. Denta berjalan sebal keluar kelas dengan wajah marahnya. Anak kelas yang lain juga menyaksikan dan mendengarkan ucapan Denta barusan. "Kalian berantem?" Tanya Dea dari arah belakang gue duduk. Gue menggeleng pelan tanpa membalik badan ke belakang, perlahan kepala gue tertunduk lalu bersandar pada meja.
Beberapa menit berlalu dan mata gue masih terbuka lebar.
*Dugh
Sekantong es krim tangkai berwarna merah muda terlempar kasar keatas meja gue, itu membuat lamunan gue pecah dan langsung menegakkan kepala. Denta berdiri di hadapan gue setelah melakukan itu semua. "Makan yang puas, ntar di alam baka gak ada yang jual" sinisnya dengan ekspresi yang masih terlihat kesal. Entah kenapa itu membuat gue kembali tersenyum, melupakan apa yang gue lihat semalam dan mulai menikmati hidup disaat-saat terakhir ini.***
"Zelin bentar lagi tampil buat lomba story telling. Liat yuk" ajak Dea menggandeng tangan gue dan langsung melangkah keluar kelas. Denta yang tak mau tinggal sendirian dikelas juga langsung berdiri dan berlari menyusul kami. Saat sampai disana, gue liat kak Vania juga berdiri diluar ruangan lomba itu menunggu temannya yang juga akan tampil.
Gue langsung tersenyum lebar kearah Denta, dan lebih bersemangat lagi melanjutkan langkah menuju labor bahasa itu. Saat sampai gue langsung tersenyum dan menyapa kak Vania, seperti biasa. Namun hari itu, kak Vania menebar senyum yang sangat tipis dengan matanya yang terlihat melas. Denta menyadari ekspresi bingung gue yang langsung berubah drastis dari senyum lebar tadi.
Sebelumnya saat kami ke kantin, gue menyimpan dua permen tangkai rasa strawberry didalam kantong celana. Gue memakan satu dan memberikan satu lagi kepada kak Vania yang berdiri di sebelah gue. "Kak, mau gak? Ini buat kakak" tawar gue mengulurkan setangkai bungkus permen itu pada kak Vania.
"Ehh... Makasih.." serunya tersenyum sedikit lebih lebar dari pada tadi. Ia langsung memakannya saat itu juga dan lanjut berdiri menunggu penampilan dari teman sekelasnya. Gue dan Denta berbincang-bincang menghabiskan waktu yang singkat itu, ditengah keasikan berbicara, terlihat beberapa anggota kelas kak Vania datang untuk ikut menunggu penampilan kelas mereka, yang disana juga ada kak Tanisa.
Disaat teman-temannya yang lain berdiri mengintip lomba dari jendela, kak Tanisa justru langsung duduk dengan bawaan makanan dan minuman di tangannya. Ia bersembunyi dibalik tembok yang tak terlihat dari posisi gue berdiri. Merasa kehilangan jejak, gue langsung mengambil handphone dalam saku rok saat itu dan mencoba menghubungi kak Tanisa.
Setelah pesan terakhir itu, kak Tanisa tak lagi mengirim balasan. Gue langsung menaikkan pandangan dari layar handphone dan mencoba melihat sekeliling. Tepat di depan gue, kepala kak Tanisa nongol dari balik tembok sedang melihat kearah gue. Gue langsung tertawa melihat ekspresi wajahnya saat itu, lalu berjalan dan berpindah duduk di sebelahnya.
"Kenapa lagi si kalian? Lo ngapain lagi dek??" Tuturnya menghembuskan nafas panjang. "Gue ga ngapa-ngapain kak" jawab gue sangat serius. Gue berharap kak Vania bercerita sesuatu pada teman dekatnya itu, nyatanya kak Tanisa juga gak tau apa-apa.
"Lo aja ga tau, apalagi gue dek" timpalnya santai tanpa merasa terlibat sedikitpun. "Ya bantu tanyain lah kak, kan lo temennya" bujuk gue dengan wajah memohon. Kak Tanisa lalu berdiri membuang sampah makanannya kedalam tempat sampah, kemudian berjalan menuju kak Vania yang sedari tadi berdiri di samping pintu. Pas sekali saat kak Tanisa berdiri, perwakilan kelas mereka sudah selesai menampilkan bakatnya. Semua rombongan kakak kelas yang menemani temannya itupun satu persatu pergi dari area ruangan lomba.
Tak lama setelah mereka pergi, gue mendapatkan notifikasi dari kak Tanisa. Gue menjawab pesan itu dengan emosi saat tengah berjalan menuju kelas.
Berakhir dengan pesan terakhir gue yang gak dibales-bales. Gue bener-bener syok berat detik itu juga, itu bener-bener jawaban yang gak pernah gue bayangin sama sekali. Bener-bener diluar dugaan, dan gue masih gak percaya kalo kak Vania sendiri yang bilang gitu. Gue berusaha mencari letak kesalahan gue sampai kak Vania berpikir sejauh itu.
Saat itu juga, gue berdiri dari kursi dan menarik Denta keluar dari kelas. "Kemana?" Tanyanya tetap diam ditempat tanpa mau berjalan. "Gue mau liat turnamen game di aula" jawab gue datar dengan wajah kesal yang tak bisa disembunyikan. Dengan wajah yang bertanya-tanya, Denta hanya ikut berjalan.
"Ikutt!!" Seru Zelin dari arah belakang dan langsung merangkul gue untuk berjalan bersama. Kami bertiga berjalan berjajar hampir membuat keseluruhan lorong yang kami lalui penuh. Di persimpangan, saat hendak berbelok ke kiri. Gue hampir saja menabrak seseorang yang tiba-tiba muncul dari arah yang berlawanan.
------------------------------
To be continued...
KAMU SEDANG MEMBACA
An Older Sister
Teen Fiction"kalo kangen gue, liat aja bulan..." Nara sadina pratista, anak pertama yang gak pernah nerima kalo dia punya adek. Gadis introvert yang gak pernah punya teman dan selalu ngurung diri di kamarnya. Pikirnya hidup bakal gitu-gitu aja, tapi saat masuk...