30 - Taburan bunga

34 3 0
                                    

Bunga pertama yang diterima gadis itu adalah taburan bunga di pemakaman

------------------------------

"Dan mari kita sama-sama berdoa agar saudari Nara bisa pergi dengan tenang. Dan hendaknya kita semua yang ditinggalkan dapat dengan tabah menerima takdir ini..." Sedikit penerangan oleh para tetua disana saat pemakaman sudah diselesaikan. Saat semua menunduk untuk berdoa, Naila masih mencoba menenangkan mamanya yang tak henti menangis. Semua orang ikut menaburi bunga diatas makam gadis remaja itu.

 Semua orang ikut menaburi bunga diatas makam gadis remaja itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setelahnya, semua orang yang melayat mulai pergi satu-persatu. Para guru-guru dan teman-teman sekelas Nara pun ikut pamit untuk kembali ke sekolah. "Tanisa... Nia... Gue duluan ya" pamit Gelsa dengan mata yang juga merah sehabis menangis. Sementara Denta masih termangu dihadapan makam sahabatnya itu, dengan Vania yang berdiri di sebelahnya masih meratapi kepergian adek kelas yang sangat-sangat dekat dengannya itu.

"Naila... Ajak mamamu pulang, gak baik lama-lama di pemakaman" ujar Tanisa yang membujuk Naila untuk membawa mamanya kembali ke rumah agar tidak terlalu larut dalam kesedihan. Tanisa takut tante Linda akan kenapa-napa. Kala Naila memopong mamanya itu bersama dengan Tanisa, Denta berdiri cepat menghadap Vania.

Denta menatap Vania dengan ekspresi penuh kebencian. Tentunya itu membuat Vania terheran-heran dengan sikap Denta, yang padahal berbicara pun mereka jarang. Wajah bingung Vania yang tak mengerti arti dari tatapan Denta membuat Denta semakin geram. "Ini semua karna lo, kak!!"

"Hah?"

"Gue udah bosan basa basi, sok sopan, dan sok menghargai lo dihadapan Nara! Lo harusnya tau dia segitunya sama lo kak!"

"Maksudnya?" Vania mengerutkan keningnya, masih menghadapi Denta dengan jati dirinya yang memang penyabar. Denta menghembuskan nafas berat sembari memutar bola matanya sinis. Denta mengetupkan mulutnya raoat untuk meredam emosi sebelum kembali berbicara.

"Nara itu cuma mau perhatian lo karna dia gak pernah dapat itu di rumahnya!! Dan lo malah mikir kalau dia suka sama lo? Otak lo mana kak? Hah?!"

"Kakak ga pernah bilang Nara kayak gitu!! Cuma temen kakak doang yang nuduh dia gitu!! Kakak juga belain dia kok pas yang lain ngomong gitu!!"

"Ya trus kenapa lo jauhin dia? Lo tau gak dia nangis-nangis kemarin malam cuma karna itu doang? Nara itu orangnya mudah tersentuh, kak! Lo baik dikit aja dia langsung mikir kalau lo orang paling baik yang pernah dia temuin... Lo cuekin dikit aja dia mikir kalau lo benci sama dia!" Bentak Denta semakin meninggikan suaranya tanpa mengingat berapa selisih usia orang yang berbicara dengannya saat ini.

"Dia juga orangnya gak bisa ditebak. Liat sekarang!! Kemarin malam gue ke rumahnya dan yang dia cemasin itu lo, kak! Dia takut lo bakal ninggalin dia! Siapa yang sangka paginya bakal kayak gini!!"

"Kakak juga ga percaya, Denta!! Kakak juga gak tau kalau bakal kayak gini! Iyaa!! Kakak salah..."

"LO GA PERLU MINTA MAAF LAGI!! UDAH TELAT!!" Nada Denta semakin tinggi menghardik Vania. Penyesalan yang menghantui Vania semakin menyelimutinya setelah berdebat dengan Denta. Vania menekuk lututnya, dan kembali menangis dalam lamuanan menghadap tanah itu. Kata-kata Denta yang menusuk lantas membuatnya merasa bersalah.

"Sekarang aja baru lo nangis! Kemarin-kemarin lo dimana?!! Dia butuh lo, dia nelfon lo, dia coba hubungin lo, tapi apa? Lo ngapain??" Sambung Denta terus saja berusaha memojokkan Vania dan melemparkan semua kesalahan pada Vania.

Ditengah percakapan penuh tangis itu, Tanisa kembali datang ke pemakaman dan ikut menjadi penengah dari perdebatan itu. "UDAH DENTA!!" Ujarnya dengan intonasi tinggi dari kejauhan seraya terus melangkah mendekat kearah Denta dan Vania. Keduanya langsung menoleh kearah suara teriakan itu, kini di pemakaman yang sepi itu tersisa tiga insan dengan berbagai emosi.

Semuanya berkumpul disatu titik tepat disebelah makam Nara. Saat itu juga Tanisa membantu Vania berdiri dari jongkoknya hingga berhenti menangis. "Denta, lo bisa pulang... Tenangin diri lo baru bicara. Perasaan lo lagi kacau karna kehilangan sahabat lo, jadi ngelantur semua omongan lo itu" tutur Tanisa masih dengan kepala dingin, setelah melihat bagaimana Denta mengatai Vania.

"Gue ga ngelantur! Emang itu faktanya kok!" Balas Denta dengan keras kepala dan emosi yang membeludak. "Kalo Nara liat ini semua, dia juga bakal marah sama lo, Denta"

"Gue yang bakal marahin Nara, karna udah tolol selama ini karna kakak kelas ini! Buat apa lo nawarin diri jadi kakak-kakak an nya segala kalau lo aja ga tau selama ini dia sembunyiin penyakitnya dari lo!" Bentaknya mengacungkan jari telunjuknya pada Vania.

"Nara itu anak kuat, gue udah kenal dia dari dulu dan lebih tau keluarganya itu gimana. Dia ga selemah itu bakal bunuh diri cuma karna Vania" kata Tanisa lagi. Pupil mata Vania langsung membesar, keningnya berkerut dan mulutnya membulat terkejut.

"Bunuh diri maksudnya apa, Tan? Sembunyiin penyakit maksudnya apa? Nara sakit apa?" Potong Vania ditengah perdebatan antara Denta dan Tanisa. Namun keduanya mengabaikan Vania dan terus beradu mulut.

"Kalau emang karna keluarganya, Nara bakal lakuin itu dari dulu! Karna dari dulu juga keluarganya gitu kan!"

"Orangtuanya cerai kemarin malam, dan keluarganya udah lebur... Papanya pergi sama selingkuhannya, ninggalin dia dan mamanya juga adik-adiknya" lanjut Tanisa berbicara, terpaksa ia harus bercerita sesuatu yang tak seharusnya diceritakan. Vania justru semakin terkejut mendengar tuturan itu, juga Denta yang langsung terdiam. Denta tak lagi berani berceloteh meluapkan amarahnya.

"Lo yang harusnya jadi orang pertama yang sadar kalau dari pagi tadi sampai sore ini papanya Nara gak pernah muncul, bahkan dia ga tau kalau putrinya udah ga ada. Dia ngeblokir nomor semua orang terdekatnya dan sama sekali ga mau nerima telfon dari siapapun itu. Dia menghilang begitu aja bak angin lalu"

Vania, Denta dan juga Tanisa kembali merenung. Mereka mulai memaklumi semua tingkah Nara yang mereka kenal, setelah tau hal apa yang dilalui gadis itu selama ini. Mewajarkan semua tingkah anehnya dalam berteman, juga Vania yang semakin merasa bersalah. Nara hanya seorang gadis yang haus kasih sayang dan seharusnya ia memberikan itu pada adik kelasnya itu.

------------------------------

To be continued...

An Older SisterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang