31 - Setelah hari itu

39 5 0
                                    

Penyesalan selalu datang di akhir, karna yang datang diawal itu kesempatan

------------------------------

"Permisi" sahut Denta yang kembali melangkahkan kakinya kedalam rumah berwarna putih yang sering ia kunjungi itu. Namun, kali ini yang membukakan pintu bukan Nara, melainkan Naila adiknya. Beberapa menit sebelumnya, Naila kembali menghubungi nomor Denta menggunakan handphone milik Nara. Naila mengajaknya kerumah untuk menunjukkan sesuatu.

Saat mereka berdua sampai di pintu kamar Nara, Naila berhenti sesaat. Kembali teringat olehnya betapa gemetarnya tangannya saat itu setelah menarik gagang pintu itu. Denta kemudian mendahului Naila yang mematung didepan pintu. Denta membuka pintu itu dan langsung masuk dengan pandangan berkeliling melihat ruangan itu. Saat Naila memotong langkah Denta, ia menuju kearah lemari baju berwarna coklat mengkilat disebelah ranjang bertingkat ia dan Nara.

Saat membukanya, Denta sedikit heran melihat buket didalamnya. Denta melangkah semakin mendekati lemari itu dengan wajah penasaran, ia membaca catatan kecil yang terikat di salah satu tangkai buket itu. 'untuk kak Vania' dan yang lainnya juga bertuliskan para penerimanya. 'untuk kak Gelsa' dan satu lagi tertulis 'untuk kak Tanisa'

"Itu dia bikin sendiri... Gue inget pas tengah malam ngintip dia bolak balik buka internet buat liat tutorialnya" jelas Naila kala berjalan mendekati meja belajar dipojok kamar. "Dia pernah bilang ke gue kalau dia bakal kasih buket kakak kelasnya itu di hari perpisahan. Dia malah pergi sebelum tanggal pesta perpisahan itu ditetapkan" gumam Denta kembali melarutkan kesedihannya.

Sementara Denta fokus pada buket itu, Naila perlahan kembali membuka laci meja belajar milik Nara dan mengeluarkan sebuah surat dengan bercak darah. "Si bodoh itu juga ninggalin ini..." Timpalnya memegang selembar kertas itu menghadap Denta. Saat membalik badan, Denta bergegas mengambil kertas itu dari tangan Naila kemudian membacanya.

"Ada buat lo juga satu, dia naruh itu dibawah buketnya" kembali Naila mengarahkan Denta untuk hal lain yang ingin ia tunjukkan. Denta masih diam membaca surat yang cukup panjang itu. "Ini bercak darahnya?" Tanya Denta setelahnya. Naila lalu menangguk pelan.

"Lo harus baca itu sekarang. Karna nanti polisi bakal ambil semua barang navigasi untuk kasus bunuh diri ini" ucap Naila mengingatkan, sembari berdiri menyandarkan tubuhnya pada dinding menghadap Denta. Mata Denta kembali berkaca-kaca, ia meletakkan surat itu kembali keatas meja lalu mendongakkan kepalanya keatas, menatap langit-langit kamar sahabatnya itu dengan upaya agar air matanya tak menetes.

"Ini... Buat lo..." Timpal Naila lagi memberikan lembaran lain yang lebih kecil dan lebih sedikit.

"Ta... Maaf ya, gue ninggalin semuanya gitu aja.
Gue ga pernah bilang ini sebelumnya tapi, gue sayang banget sama lo Denta...
Gue pamit ya, jaga diri...
Kalo kangen gue, liat aja bulan"

-Nara-

Denta kembali tertunduk setelah membaca beberapa kalimat itu. Kembali, Denta meraung penuh emosi. "Tujuan dia bikin surat-surat an begini apaan sih? Buat mengenang gitu? Dia pikir dengan ini semua bakal maafin dia? Lo sebodoh itu Nar!! Lo ninggalin rasa sakit ke orang-orang! Gue gak bakal maafin lo!" Cicitnya mendongak keatas seolah mengumpat pada seseorang diatas langit sana.



"Denta mana?"

"Hari ini ga masuk, buk" jawab Zelin dengan suara lesu. Semuanya merasa kehilangan dikelas itu. Tepat didepan bangku Zelin, satu bangku paling pojok dinding dipenuhi bertangkai- tangkai bunga. Juga beberapa lembaran kertas kecil berisi pesan-pesan perpisahan dari teman-teman Nara. Tiba-tiba saja, Dea datang dan duduk disebelah Zelin sembari menyodorkan handphone-nya.

"Lo udah liat artikel ini?" Tanyanya kepada Zelin.

"Udah... Gue ga nyangka dia bunuh diri. Padahal di sekolah dia ceria aja"

"Katanya keluarganya broken"

"Hah? Masa sih?"

"Ga tau juga, palingan yang tau cuma Denta"

"Iya... Kemarin juga kak Vania sama kak Gelsa datang kan ke pemakaman?"

"Datang kok, gue juga liat mereka nangis"

"Ya iyalah nangis, orang Nara sebaik itu sama mereka"

"Tapi bukannya Nara lagi gak baikan ya sama kak Vania? Kalau ga salah Nara bilang itu kemarin-kemarin"

"Tapi kan-"

"Suuttt!! Ngobrol lagi saya seret keluar kalian dari kelas saya ya... Itu catat yang di papan tulis!" Serobot guru yang mengajar dikelas mereka yang tiba-tiba datang dari arah belakang. Keduanya terkejut dan langsung kembali fokus pada pelajaran.



"Vania... Vania!!" Teriak Tanisa yang sedari tadi meneriaki nama temannya itu. Pada panggilan ketiga yang sangat keras barulah Vania tersentak dari lamunannya. "Lo ga denger bel udah bunyi? Ayo ke kantin" sambung Tanisa yang sudah berdiri di pintu kelas mereka.

"Enggak, Tan... Gue ga nafsu makan"

"Astaga!! Nia!! Nara juga ga bakal senang kalau lo terus-terusan kayak gini! Lo ga inget dia pernah anterin roti ke UKS pas mag lo kambuh? Dia bakal khawatir kalau lo ga makan" tuturnya panjang lebar menceramahi Vania. Akhirnya bujuk rayu dengan nama Nara itu berhasil membuat Vania berdiri dan berjalan menyusul Tanisa di pintu kelas.

Disepanjang jalan, mereka terus berbicara hingga membahas banyak hal karna jarak kantin yang cukup jauh dan langkah mereka yang juga lamban.

"Waktu itu gue ga beneran mau jauhin dia, Tan"

"Gue tau"

"Niatnya sebentar, sampai gue liat kalau semua yang temen-temen kita omongin itu ga bener"

"Iya, Nia. Gue paham"

"Harusnya gue percaya sama dia dari awal. Ini beneran gue ga bakal liat dia lagi, Tan?"

"Ini udah takdirnya, Nia..."

------------------------------

To be continued...

An Older SisterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang