Bantu vote dan komen yaaa
-------------------------------
"Mama nemu lipstick di saku mobil papa, itu punya siapa?" Tanya mama dengan tatapan mengintimidasi. Semua langsung ngeliat kearah papa, selalu ada aja yang jadi masalah. Selalu di setiap jam makan.
"Punya Nara kali" jawab papa dengan mata berkeliling.
"Sejak kapan lo belajar makeup?" Potong Naila menghadap gue cengengesan. Semua pasang mata di meja makan langsung liat kearah gue, termasuk mama yang udah nahan emosi. Gue cuma geleng-geleng pelan sambil nunduk dan makan. Dan lagi gue harus sok kuat depan mereka semua, gue nunduk buat nutupin air mata gue yang mulai menetes basahi pipi.
"Mama nuduh papa?! Udah capek-capek kerja dari pagi, pulangnya malah dituduh yang enggak-enggak!!!" Bentak papa. Tangannya melemparkan piring kelantai sambil berdiri dan pergi dari meja makan.
"HEH! INI TUH KEWAJIBAN KAMU! EMANGNYA GAJI KAMU BERAPA SIH SAMPAI NAFKAHIN CEWEK LAIN?! ANAKMU TUH KASI MAKAN!" Bentak balik mama seraya berdiri dari kursinya.
Naila tetap sibuk menatap layar handphonenya. Alexa yang duduk disebelahnya mulai merhatiin mama sama papa yang teriak-teriak. Gue niat mau bawa Lexa kedalam kamar, tapi sebelum gue mulai berdiri. Naila lepas headphone di telinganya dan masangin itu ke telinga Lexa. Namanya anak kecil, Lexa cuma ketawa-ketawa mikir kalo itu mainan yang nempel di telinganya.
Gak lama, Naila gendong Lexa masuk kedalam kamar. "Lo yang beresin, gue mau bikin pr" katanya sambil jalan.
Gue tinggal sendiri dimeja makan sambil usaha biar air mata gue berhenti, gue gak mungkin masuk ke kamar dengan mata yang penuh genangan air itu. Bisa-bisa Naila ledekin gue.
Setelah lama diam dengan posisi nunduk. Gue perlahan berdiri dari sana naikin pandangan mendongak ke depan. Suara berisik mama sama papa masih terdengar dari arah kamar mereka.
Gue jalan ke dapur dan ambil sapu, gue bersihin semua nasi yang tumpah di lantai. Satu persatu pecahan piring itu gue pungut, sampai di pecahan terakhir yang terlihat di lantai.
Gue mandang serpihan kaca itu cukup lama. Pikiran gue bener-bener udah buntu saat itu, gue mulai rentangkan pergelangan tangan kanan gue.
Gue duduk di lantai dan mulai mainin pecahan kaca itu, membentuk garis-garis abstrak yang ngeluarin cairan merah. Itu perih banget, tapi setelahnya. Rasanya lega...
Gue tau gue bodoh, dan itu tolol banget. Tapi ini udah terlanjur gak bisa ditahan, gue udah muak sama semuanya di rumah ini. Terkadang yang gue pengen cuma sebatas kasih sayang, itu doang.
•
•
•"Pagi semuanya!" Sapa seorang petugas tentara ditengah lapangan upacara. Semua siswa dan siswi kelas 10 akan mengikuti kegiatan PBB sebagai penutup kegiatan MPLS. Dibawah terik matahari, kita semua di jemur dengan barisan rapi tanpa gerakan sedikitpun. Karna gue lumayan pendek dari yang lainnya, gue dapat barisan paling belakang.
Tepat dibelakang gue, para pengurus OSIS berdiri ngawasin kita semua. Tapi gue belum liat kak Vania dari tadi. Gue perhatiin semua barisan kelas 10 yang membentuk huruf U. Dengan sorot mata tajam, gue nemuin kak Vania di barisan ujung. Dia berdiri disana sama kak Gelsa, mereka sahabat banget kayaknya. Berdua mulu.
Berbagai perintah di lontarkan pada kami, mulai dari istirahat ditempat, lencang kanan, jalan ditempat, siap, dan semuanya. Udah lewat dari satu jam, gue bener-bener gak tahan lagi.
Kepala gue sakit banget dan sialnya, asma gue kambuh. Dada gue sesek gak bisa nafas, kita juga gak boleh gerak. Gue pengen ngadu ke pengurus OSIS dibelakang, tapi liat wajahnya aja gue udah takut gimana mau ngomong. Sekuat tenaga gue tahan sakit itu sambil bilang ke diri gue sendiri. "Jangan pingsan, malu" bisikin itu tiada henti sembari menunduk memejamkan mata.
Salah satu pengurus OSIS itu sadar dan tepuk pundak gue pelan. "Kenapa? Sakit? Mau ke UKS?" Tawarnya liat gue udah lemes dibarisan itu.
"Enggak kak" tolak gue. Gue gak mau baring di ruangan itu, mending gue tahan aja daripada harus kesana. Dari awal kegiatan ini dimulai, udah lebih dari tiga orang yang pingsan dan dibawa ke UKS. Gue gak mau kayak mereka, gue tahan dada gue yang sesak sampai kegiatan itu bener-bener selesai.
***
Semua pengurus OSIS sedang berkumpul untuk diskusi kegiatan selanjutnya. Masing-masing mereka disuruh membagikan buku kegiatan MPLS pada anak gugus nya masing-masing.
"Bukunya udah dibawa?" Tanya Vania.
"Udah ada di kelas" jawab Gelsa.
"Jadi, dihari terakhir ini kalian semua bakal dimintai tanda tangan sama adek-adek kalian itu. Bapak minta gak ada yang bercanda kelewatan. Juga nanti kalo udah pukul tiga sore, jangan di becandain lagi, langsung kasih aja. Paham?" Instruksi guru itu. Namanya pak Hendra, pembina organisasi OSIS.
"Baik pak!" Jawab semua pengurus OSIS secara bersamaan. Semua hendak kembali ke gugus mereka masing-masing, setelah waktu istirahat tiga puluh menit sehabis kegiatan PBB.
Vania dan Gelsa masuk ke gugus enam sebagai pembimbing gugus itu. "Duduk di tempatnya masing-masing! Itu ngapain? Gak ada yang duduk berdua!!" Teriak Gelsa sesaat baru saja menginjakkan kakinya dalam ruangan itu.
"Yang berisik gak dapet buku ini! Mampus kalian gak lolos MPLS!" Bentaknya lagi pelototin anak cowok yang gak ada takut-takut nya sama sekali.
Vania mulai berjalan membagikan buku itu, meletakkannya di tiap meja. Hingga saat sampai di bangku Nara, dia lagi tidur pules.
"Nara..." Serunya dengan suara lembut bangunin Nara.
"Ini ya bukunya" sambungnya setelah Nara kembali naikin kepala dari meja. Nara cuma diam gak paham apa-apa dan masih ngumpulin nyawa.
------------------------------
To be continued...
KAMU SEDANG MEMBACA
An Older Sister
Teen Fiction"kalo kangen gue, liat aja bulan..." Nara sadina pratista, anak pertama yang gak pernah nerima kalo dia punya adek. Gadis introvert yang gak pernah punya teman dan selalu ngurung diri di kamarnya. Pikirnya hidup bakal gitu-gitu aja, tapi saat masuk...