Siapa yang pengen punya kakak?
Akuuu akuuu akuuu------------------------------
"Kenapa baru pulang jam segini? Bajunya kok basah begini? Kakak dari mana hah? Udah berani kelayapan pulang sekolah? Jangan sampai motor kakak mama sita ya!" Celoteh panjang lebar itu langsung memanaskan kuping gue yang baru aja sampai di teras rumah.
Gue diam dengan kepala tertunduk, menenteng tas ransel dengan satu bahu dan tangan yang merintih sepatu hitam yang sudah basah. "Dibilangin diam aja! Batu banget ni anak... Kalo-"
"Kata mama kalo nilai aku tinggi aku boleh ngapain aja kan" potong gue disela-sela amarah mama yang selalu aja diluapkan ke gue. Mata gue berkaca-kaca menatap mama, gue se berharap itu suatu saat mama bakal tunjukkin kasih sayangnya ke gue. Bahagia mama cuma sekedar angka yang tertulis di selembar kertas yang cuma bisa didapatkan ditempat yang disebut sekolah itu.
Gue berjalan melewati mama dengan pakaian yang sudah kuyup itu. "Kakak lupa besok harus pemeriksaan? Paru-paru kakak itu bermasalah, kalo tiba-tiba aja kenapa-kenapa karna air dingin. Siapa yang repot? Hah? Siapa yang bakal bantuin kakak kalo kenapa-napa diluar sana? Kakak enak senang-senang sama temen, mama di rumah jadi beban pikiran tau gak!!"
Langkah gue kembali terhenti. Gue terdiam meratapi kata-kata itu, mata gue yang tadinya udah kering kembali banjir oleh air mata. Yang tadinya masih tertahan, sekarang bahkan udah ngalir deras basahi pipi gue. Gue gak kuat berbalik kearah mama yang berdiri dibelakang gue itu.
Gue kembali masuk dengan langkah yang lebih cepat, membuang tas dan sepatu gue ke lantai dan berlari memasuki kamar mandi. "Maaf maa... Maaf udah nyusahin mama" gumam gue sangat pelan. Tangis gue makin menjadi-jadi tanpa mengeluarkan suara sedikitpun.
Gue menghidupkan shower kamar mandi dan perlahan terduduk lesu dibawah pancuran air itu. Rambut gue yang sudah kering karna angin dijalan, kembali basah. Bahkan air itu tercampur dengan air mata gue yang masih mengalir deras. Gue menekuk kedua lutut dengan kepala tertunduk.
•
•
•"Ma... Tanda tanganin. Nanti dititip sama Denta" minta gue dengan perasaan canggung sembari menyodorkan selembar kertas yang gue tulis sendiri dengan meniru tulisan mama. Datang tepat waktu, terdengar bunyi klakson motor diluar. Gue langsung bergegas keluar untuk menghampiri yang mana gue tau itu adalah Denta.
"Titip ya" sembari menghadapkan surat izin sakit itu ke tangan Denta. "Aman... Gue cabut ya udah telat nih" pamitnya. Gue mengangguk pelan dan Denta langsung menarik tuas gas motor hitam miliknya itu. Gue memandang punggung Denta yang semakin jauh diujung jalan. "Kalo nanti gue udah pergi, tu orang bakal gimana ya?" gumam gue pelan.
"Udah kak, ayo" mama mengeluarkan mobilnya dari teras rumah, dan kami berangkat. Disana, sudah ada dokter Cindy yang mengajukan jadwal pemeriksaan itu. Saat gue masuk ke ruangannya, "tenang ya, gak bakal kenapa-napa kok" celetuknya mengusap pelan kedua bahu gue.
"Ruang pemeriksaannya dilantai dua, silahkan" ajak seorang suster yang selalu nemenin dokter Cindy setiap gue kontrol kesana. Sesampai di lantai dua, gue dimasukin ke kamar inap. "Ma? Emang kakak mau dirawat?" Tanya gue bingung. "Udah nurut aja" timpal mama berdiri menyilang tangan disebelah kasur yang sedang gue baringin.
Suster itu masuk lagi, membawakan pakaian ganti. Yaa, gue disuruh pake baju rumah sakit. "Pasien nomor tiga puluh tujuh, diharap untuk tidak makan dan minum dahulu selama enam jam untuk nanti langsung masuk kedalam ruang pemeriksaan" intruksi nya lalu kembali keluar. Gue menatap mama dengan ekspresi bingung, namun mama masih tak kunjung menjelaskan maksud pemeriksaan ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
An Older Sister
Teen Fiction"kalo kangen gue, liat aja bulan..." Nara sadina pratista, anak pertama yang gak pernah nerima kalo dia punya adek. Gadis introvert yang gak pernah punya teman dan selalu ngurung diri di kamarnya. Pikirnya hidup bakal gitu-gitu aja, tapi saat masuk...