06 - Teman sebangku

35 4 0
                                    

Haloo readers, absen dulu yang suka sama ceritanya🖐️

----------------------------

"Motornya dipanasin dulu, biar gak cepat rusak" kata papa yang lagi duduk di meja makan nikmatin secangkir kopi buatan mama.

"Bantuin, kakak gak bisa naikin standard duanya" minta gue. Papa langsung taro rokoknya dan jalan kearah gue. Bantu naikin standard motor gue dan kembali duduk.

"Papa bakal berangkat lebih lambat hari ini, kamu anterin Naila dulu ya"

"Kenapa gak mama aja" saran gue.

"Cuma anterin Naila aja masih aja ngelak. Percuma mama besarin kamu kalo gak pernah mau disuruh-suruh" tandas mama.

"Kakak cuma nanya loh ma" resah gue menghadap mama yang dari tadi buang muka. Gue menghela nafas berat dan menghembuskan perlahan. Menatap mama yang masih sibuk dimeja makan dengan tatapan sendu.

"Cepetan, Nar. Gue udah mau telat nih" desak Naila keluar dari kamar tergesa-gesa dengan tas ransel hitam miliknya dan botol minum yang ia jinjit ditangan kanannya.

"Kakak berangkat, ma" pamit gue sambil perlahan narik putaran gas motor ditangan kanan gue. Dengan Naila yang udah naik dibelakang mengenakan batik sekolahnya.



"Pagi, Tanisa..." Seru Vania sesaat baru membuka pintu kelasnya. Ya, kelas MIPA satu. Temannya yang ia sapa itu menarik senyuman lebar dengan menaikkan sebelah alisnya.

Tanisa menepuk dua kali bangku kosong disebelahnya yang ia kosongkan dengan sengaja untuk Vania. Dengan riang, Vania berlari kecil menuju temannya itu. Ini hari pertama bagi Tanisa, namun tidak bagi Vania karna ia sudah sekolah sejak beberapa hari yang lalu.

"Tau gak, gue nemu adek kelas yang ganteng banget woii" heboh Vania pada teman sebangkunya itu. "Hadeuhh" pasrah Tanisa memutar bola mata melas dengan senyum tipis di bibirnya. Gadis berkacamata itu tampak tidak keberatan sama sekali dengan kecerewetan Vania.

"Dia anak gugus sebelah, sedih banget gak bisa jadi pembimbingnya" dengan sungut wajah yang cemberut, Vania menyandarkan kepalanya di pundak Tanisa.

"Itu hasil jadi babu kemaren?" Ledek Tanisa cengengesan. Vania menarik kepalanya dari pundak Tanisa dan memberikan tatapan kesal atas penghinaan itu.




Kelas kembali diacak, gue gak lagi sekelas sama cowok-cowok petakilan di gugus kemaren. Semoga aja kali ini cowoknya kalem semua, betapa tenangnya hidup gue di sekolah ini.

Saat masuk ke kelas, gak ada populasi cowok sama sekali, separuh dari seisi kelas itu kosong. Gue juga belum dapet teman sebangku. Lalu, salah seorang guru masuk ke kelas kami.

"Saya adalah wali kelas di kelas ini, ada yang tau nama saya?" Ucapnya. Semua diam tak berkutik sama sekali, ya karena memang tidak ada yang mengenalinya.

"Saya Dona, saya mengajar bidang studi geografi sekaligus menjadi wali kelas di kelas sepuluh C ini" terangnya pada semua siswa dalam ruangan itu. Tepat setelahnya, terdengar banyak suara langkah kaki tergesa dari arah luar. Dan datanglah beberapa siswa laki-laki yang juga anggota kelas itu.

Gue tercengang liat mereka semua yang berdiri di pintu, itu bahkan lebih parah daripada anak cowok di gugus gue kemaren. Tau gini mending kelasnya gak usah diacak. Lalu, satu cewek datang menyusul rombongan cowok-cowok itu.

Dengan nafas memburu, ia meminta izin masuk. "Izin buk, saya telat. Tadi temen saya ban motornya bocor buk" jelasnya kala berjalan menuju meja guru. "Kamu duduk di tempat yang kosong" suruh bu Dona pada siswi itu.

Matanya menerawang sekeliling kelas, dan tatapan itu berhenti di gue. Dia tanpa aba-aba langsung jalan ke meja gue yang kebetulan sebelahnya kosong. Tanpa dosa dia tepis tas gue ke atas meja dan langsung duduk.

"Lo gak nanya ini kosong atau enggak?" Celetuk gue dengan mata kentara menatapnya. Gue gak tau entah suara gue yang terlalu pelan atau emang dianya yang budeq. "Hah?" Kata dia sambil deketin telinganya ke depan wajah gue.

Gue geleng-geleng pelan sambil buang muka dan sedikit berangsur ke kanan biar gak terlalu dekat sama dia. Mood gue hancur seketika setelah mendapatkan teman sebangku kayak dia.

Dari sudut mata gue sadar dia lagi noleh liatin gue. Gue pikir cuma lirikan sekilas, tapi ni orang gak selesai-selesai ngeliatnya. Gue ikut noleh liatin dia dengan tatapan gue yang udah jengkel banget. Tetap aja, dia masih liatin gue.

"Apa?" Sambar gue dengan nada datar. "Enggak, lo lucu" jawabnya sambil ketawa pelan menepis pandangannya. Gue liatin dia dengan kening berkerut heran.

Saat gue mencoba fokus liatin papan tulis yang penuh dengan materi geografi didepan. Teman sebangku gue ini noleh lagi. "Eh, nama lo siapa?" Tanya nya sambil cengengesan gak jelas.

Gue liatin dia dengan wajah bingung. "Nara" jawab gue singkat langsung buang pandangan kearah papan tulis. "Gue Denta" pintanya sambil senyum-senyum. Alis gue saling bertaut lantaran sedikit bingung dengan namanya yang terdengar unik di telinga gue. Gue ngelirik dia sebentar tanpa jawab apapun dan lanjut catat materi pelajaran.

Gue kenal wajahnya, dia cewek yang gue liat pas pendaftaran. Cewek yang gak bisa diam dan caper ke cowok-cowok. Gue pikir dia kakak kelas karna bentukannya yang udah kayak anak kelas sebelas, tambah lagi karna dia udah dapet semua seragam.

"Eh, lo.."

"Ngobrol sama yang lain, gue belajar" potong gue dengan nada sarkas sebelum Denta selesai dengan kalimatnya. Tanpa terusik dari buku catatan diatas meja, gue terus mengayunkan pulpen ditangan gue dengan harap mengabaikan orang di sebelah gue sekarang.

"Rata-rata orang yang kidal itu ambis ya" ocehannya tak kala menyenggol tangan kiri gue yang lagi nulis dengan sengaja. Senggolan itu menjatuhkan pulpen dari genggaman tangan gue. Tiba-tiba aja jantung gue detaknya kencang, dada gue sesak lagi. Asma gue selalu aja kambuh sesaat gue lagi panik dan takut.

Gue memandang pulpen gue yang tergeletak di lantai, suasananya persis kayak hari itu. "Aduh sorry, gue becanda doang. Sini gue ambilin" timpalnya sedikit merungkuk memungut pulpen berwarna biru yang berada di lantai tepat dibawah kakinya.

"Nih, maaf ya" ungkapnya dengan nada yang tidak serius sembari meletakkan pulpen itu di samping buku gue yang terbuka lebar diatas meja. Gue natap dia dengan bola mata gemetar menahan rasa takut.

"Dia bukan pembully kan?" Satu-satunya pertanyaan yang ada di benak gue.

------------------------------

To be continued...

An Older SisterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang