Happy reading...
---------------------------------
~beberapa bulan kemudian~
Gue berdiri ditengah pelajaran setelah melirik jam tangan hitam dipergelangan tangan kiri gue. Sambil menyandang sebelah tali tas ransel hitam yang tadinya terletak di bangku gue duduk, gue berjalan ke meja guru untuk meminta izin pulang. "Saya izin pulang buk, mau kontrol ke rumah sakit"
Sembari menjabat tangan guru itu, "ya udah... Hati-hati ya. Jangan lupa minta surat izin ke meja piket nanti ditangkap satpol PP kamu" katanya. "Iya, bu..." Gue langsung berjalan keluar kelas dengan pandangan lurus ke depan.
***
"Woii! Sutt! Nar! Oii!" Bisik Denta dengan suara yang sangat pelan diiringi lentikan jari untuk memanggil Nara. Sayangnya, teman sebangkunya itu tidak mendengarnya.
•
•
•"Halo Nara..." Sapa dokter itu dengan senyumnya yang sangat manis. Bisa dibilang, gue pelanggan tetap dokter itu dari bertahun-tahun lalu. "Jadi gimana Nara? Udah ada perkembangan?" Sambungnya dengan sebuah stetoskop yang melingkar di lehernya.
Dengan wajah murung gue menggeleng pelan kala menunduk. Sekilas, gue melirik mama yang duduk disebelah kanan gue. Gue gak berani menatap matanya, pasti mama kecewa dan capek ngurus gue yang penyakitan ini.
"Gapapa... Jangan sedih dulu, kalo Nara terus berusaha. Pasti nanti bakal ada kemajuan. Ya cantik yaa" serunya sembari mengelus lembut bahu gue. Itu adalah kalimat penenang yang selalu di ucapin dokter itu setiap kali gue berobat, nyatanya gak ada yang berubah.
Setelah membuka beberapa lembar kertas, dokter itu kembali bertanya. "Obat nya rutin diminum kan? Eumm dan juga... Nara masih butuh obat penenang? Atau kita bisa menurunkan dosisnya sekarang?"
"Enggak dok, saya masih butuh. Juga kayaknya dosisnya harus dinaikkan"
Dokter itu mengerutkan keningnya.
"Loh? Makin parah ya? Obatnya gak diminum tiap hari kan?" Dokter itu memastikan. Gue menoleh kearah mama dengan raut wajah takut. Gue gak pernah cerita apapun ke mama dan sekarang gue harus jelasin semuanya ke dokter itu didepan mama."Nara baru aja tamat SMP dan harus lanjut SMA. Jadi, menyesuaikan diri dengan lingkungan baru itu susah dok, Nara selalu aja panik dan tiap pagi penyakit Nara selalu kambuh. Mau gak mau Nara harus minum obatnya tiap hari biar bisa tetap masuk sekolah" jelas gue panjang lebar.
Dokter itu terlihat terkejut bukan main. Matanya melotot dengan mulut membulat. Ia berdiri cepat dengan tatapan cemas dan langsung berjalan menghampiri mama. Dokter itu menarik mama keluar dari ruangan, dari jendela gue bisa liat jelas dokter itu ngomong sama mama dengan sesekali melirik kedalam ruangan. Gue gak tau apa yang mereka omongin, tapi kelihatannya itu hal yang serius.
Dan lagi, percakapan singkat itu membuat mama juga menatap gue dengan tatapan takut. Keduanya melihat gue dengan wajah prihatin tanpa sepatah katapun. Dokter itu kembali duduk dan masih terlihat berat untuk berbicara. "Karna sekarang jadwal saya sudah sangat padat, jadi saya akan atur jadwal pemeriksaan Nara dua hari lagi ya, bu Linda" tuturnya menghadap mama.
Tunggu, pemeriksaan apa. "Maksudnya, ma?" Tanya gue bingung. Saat bibir mama mulai terbuka untuk berbicara.
"Dokter Cindy... Pasiennya udah nunggu diluar" panggil perawat lain dari pintu ruangan. Mama gak jadi ngomong dan langsung berdiri buat keluar dari ruangan dokter itu. "Kalo gitu kami permisi dok, terima kasih" ujarnya. Selagi jalan keluar dari rumah sakit, mama diemin gue dan gak ngomong apa-apa. Mama cuekin pertanyaan-pertanyaan gue yang gak ada habisnya.
Saat di parkiran rumah sakit, mama duduk di kursi setir tanpa nyalain mobilnya. Mama noleh ke gue dengan ekspresi marah. "Kamu gak usah bandel bisa gak sih?" Sarkas nya dengan nada tinggi.
"Ha? Apaan ma?"
"Bulan kemaren dokter Cindy tu udah bilang kan, kalo obatnya tuh gak boleh dikonsumsi berturut. Penyakit kakak tuh gak satu kak, itu beresiko besar sama penyakit kakak yang lain, dosis nya itu beda-"
"Ma... Maksudnya apaan sih ma? Kakak gak ngerti"
"Dua hari lagi jadwal pemeriksaannya kakak, biar dokter aja yang jelasin nanti. Udah capek mama, kakak nyusahin terus" ungkap mama dengan bola mata melas. Gue bener-bener bungkam denger kalimat itu, itu bener-bener sakit banget.
•
•
•Sepasang bola mata coklat gelap tak henti menatap kearah gue yang lagi tidur lelap di kasur. Dengan dering handphone yang dari tadi berbunyi nyaring. "WOII!!" teriaknya sangat lantang hingga gue terbangun karna kaget. Dengan tatapan lesu mencoba melihat kearah sumber teriakan itu.
"Handphone lo tuh berisik dari tadi!!" Sambung Naila dengan wajahnya yang selalu masam ke gue. Dengan kondisi setengah sadar gue angkat telfon itu.
"Woi lo dimana! Gue chat gak dibales. Seleb ya lo"
"Ha?"
"Keluar yok, healing hahaha. Pusing nih gue di rumah"
"Malam gini gue mana boleh keluar, Ta"
"Cckk ahh... Gak asik lo. Ya udah deh, gue kesana"
"Loh, ngapain? Ta-"
Denta memutuskan sambungan telfonnya sebelum gue selesai dengan kalimat gue. Gue langsung keluar kamar buat cuci muka.***
*Tok tok tok
Sesuai dugaan, orang yang berdiri dibalik pintu kayu dengan cat putih itu adalah Denta. Ia menenteng sebuah kantong plastik yang gue gak tau isinya apaan. "Masuk, Ta" ajak gue membuka pintu lebih lebar memberikan akses masuk buat tamu gue itu."Gak, diluar aja. Adem" katanya langsung balik badan dan duduk di kursi tamu di teras rumah. Gue langsung nutup pintu dan ikut duduk disebelahnya.
"Are you okey, Ta?"
Wajah Denta yang tadinya tengil langsung murung. "Ibu gue Nar" jawabnya singkat. Gue bisa mengerti kalimat singkat itu, sekarang gue tau apa yang terjadi sama Denta. Kadang orang yang keliatannya ceria justru adalah orang yang paling dalam luka yang disimpannya.
"Yang sabar ya" sambil mengelus perlahan pundak Denta, gue gak ahli dalam menenangkan seseorang. Gue aja minum obat penenang. Setelah lama kenal dengan Denta, kita saling berbagi cerita satu sama lain. Denta gak seburuk yang gue pikirin saat pertama kali liat dia di lingkungan sekolah.
Wataknya emang kasar dan anaknya petakilan banget. Tapi yang gak semua orang tau, hatinya itu lembut banget. Gak sebanding sama tampangnya yang sana sini judes-in orang.
------------------------------
To be continued...
KAMU SEDANG MEMBACA
An Older Sister
Teen Fiction"kalo kangen gue, liat aja bulan..." Nara sadina pratista, anak pertama yang gak pernah nerima kalo dia punya adek. Gadis introvert yang gak pernah punya teman dan selalu ngurung diri di kamarnya. Pikirnya hidup bakal gitu-gitu aja, tapi saat masuk...