29 - Sayup angin pagi

32 3 0
                                    

IG: _fyanxaa.wp

------------------------------

"Halo Nar? Kenapa? Tumben nelfon pagi-pagi. Ohh iya, gue-"

"Kak Denta..."

Alis Denta saling berkerut, lantaran suara itu bukan temannya Nara. Kembali ia menatap layar handphonenya untuk memastikan nomor telepon yang sedang tersambung dengannya. "Halo?"

"Ini Naila..." Ucapan dari telepon itu lagi dengan suara serak dan lemas.

"Oh Naila, Nara ngambek ya? Karna semalam gue bilang gak mau ngomong sama dia lagi? Hahaha bilangin gue cuma bercanda..." Timpal Denta diiringi tawa tipis dengan nada bercanda.

"Kak-" Naila berbicara dengan terbata-bata dan isak tangis yang sedari tadi ia coba tahan.

"Loh loh loh... Kenapa Nai?"

"Nara udah ga ada kak..." Sambung Naila dalam telepon suara itu, tangisnya semakin menjadi-jadi sebelum memutuskan sambungannya dengan Denta. Denta masih tak percaya kabar yang baru saja ia terima, dan masih mematung ditengah trotoar lampu merah, disaat lampu sudah hijau dan pengendara dibelakangnya sudah mengklakson.

Tanpa pikir panjang, cewek dengan seragam sekolah itu langsung memutar balik motornya dan melaju kencang dijalan yang berlawanan arah. Berkendara seperti orang gila yang menyalip semua mobil yang menghalanginya, tanpa mempedulikan tingginya angka di kilometer motornya itu. Bahkan beberapa kali hampir menabrak kendaraan lain, namun ia tetap memandang perjalanannya dengan tatapan kosong.



Suasana duka menyelimuti rumah kediaman keluarga besar seorang siswi SMA bernama Nara itu. Semua tertekun mengelilingi gadis remaja yang terbaring pucat ditengah rumahnya. Semua kerabat dan tetangga terdekatnya ikut hadir meramaikan rumah duka itu, tidak ada yang menyangka gadis itu akan meninggal dengan cara seperti itu. Fakta menyedihkan bahwa ia berakhir ditangannya sendiri, itu lebih memilukan hati keluarganya yang ditinggalkan.

Tak lebih dari lima belas menit berlalu sejak Naila mengabari Denta, ia langsung sampai disana. Dari awal ia memarkirkan motornya sembarangan, kakinya serasa tak sanggup untuk masuk kedalam rumah itu. Pemandangan yang ia lihat benar-benar tidak ingin ia percaya. Banyak para lelaki tua yang duduk diteras rumah berwarna putih itu, puluhan pasang sendal juga menumpuk dipintu masuk rumah sahabatnya itu.

Langkah demi langkah yang berat akhirnya membawanya berdiri didepan pintu rumah itu, satu-satunya hal yang ia ingat adalah disaat Nara yang selalu berdiri disana membukakannya pintu setiap kali ia berkunjung untuk saling berbagi cerita. Tak lupa dengan pose khas sahabatnya itu yang selalu melipat kedua tangannya di dada sembari bersandar pada pintu. Air mata langsung bercucuran kala kenangan itu melintas di benaknya.

Melihat Nara yang terbujur kaku dilantai dengan wajah pucat serta kain putih yang menyelimutinya, Denta langsung berjalan cepat dan menekuk lutut dihadapan Nara. Disebelahnya, Naila menundukan kepalanya kebawah. Air mata tak henti bercucuran ke karpet yang diduduki Denta, tangannya perlahan naik keatas kasur yang ditiduri Nara dan mulai mengelusnya perlahan.

"Nar lo apa-apaan... Bangun Nar... Bangun... Nanti gue duduk sama siapa Nar... Nara... Bangun..." Cicitnya tersedu-sedu dengan nafas yang tersengal-sengal dan tangan yang terus mengguncang tubuh Nara yang sangat dingin. Tutur itu kembali mengundang tangis Naila yang sudah reda, saat siswi SMP itu mencoba mengusap punggung Denta yang terkakah tangisan.

"Asma beneran bunuh dia, Nai..." Gumamnya pelan masih dengan nafas yang terengah-engah. Kemudian Naila menggeleng pelan, masih dengan kepala yang tertekun diam. Lalu ia menengadahkan kepalanya keatas, menoleh kearah kanan melihat kearah kamar ia dan Nara. Disitu, Denta ikut melihat kearah yang sama dan yang mereka lihat ialah beberapa wanita sebaya dengan mamanya keluar dari kamar itu. Satu dari mereka menenteng kain yang sudah dipenuhi bercak darah, yang lain juga menenteng ember bening yang berisi cairan merah pekat sekali.

Saat mereka berjalan melewati mamanya Nara, "darahnya semua udah kami bersihin bu... Tinggal amisnya belum ilang" bisiknya dengan suara pelan sebelum lanjut berjalan kearah kamar mandi. Dengan cepat Denta membuang pandangannya pada Naila. "Nai?"

"Dari awal semua tau Nara itu bodoh, kak! Tapi gak ada yang tau dia bakal sejauh ini..." Terangnya tanpa berkata jelas, namun maksud dari kalimat itu yang langsung bisa dimengerti. Denta benar-benar langsung terdiam, mematung tanpa sepatah katapun mendengar ungkapan Naila.

*Tok tok
"Permisi" ucap lembut Tanisa yang mencoba melewati kerumunan didalam rumah itu untuk masuk kedalam. Dibelakangnya, Vania dan Gelsa mengikuti Tanisa hingga mereka bertiga duduk paling depan bersebelahan dengan Denta. Kini, empat siswi berseragam putih abu-abu berjejer dihadapan Nara. Tanisa langsung memeluk mamanya Nara, tak ada yang bisa menahan air mata dikeadaan seperti itu.

Vania yang tepat disebelah Denta menatap Nara dengan prihatin. Matanya yang tadi hanya berlinang kini sudah meneteskan air mata. Tak kecil rasa penyesalan yang ia miliki saat memandang orang yang sudah ia anggap adiknya itu tidur selamanya. "Nara kenapa?" Tanyanya menoleh ke samping menghadap Denta.

Denta yang memang sudah membencinya dari awal tidak menanggapinya sama sekali. Sampai Naila yang sungkan menjawabnya, "sakit..." Katanya perlahan. Dari situ, Vania mulai menggeser pandangannya dari Denta. Pupil matanya sedikit melebar saat menatap orang yang menjawab pertanyaannya barusan. Wajahnya sangat mirip dengan Nara, bahkan saat lengah pun dari samping masih terlihat seperti Nara.

Itu membuat Vania kembali tertekun, sembari terus memandang wajah Nara yang terbaring dihadapannya. Teringat olehnya saat ia sengaja mengabaikan telepon dari adik kelasnya itu kemarin malam, dan sudah beberapa hari ia mencoba menjaga jarak dengan Nara.

Rumah itu semakin ramai didatangi, orang tua Tanisa juga baru saja masuk untuk melayat. Serta beberapa utusan dari organisasi sekolah yang diikuti oleh Nara. Juga beberapa guru ikut hadir hingga pemakaman selesai. Semua teman sekelas Nara juga ikut memperpadat rumah itu, tak sedikit yang menangis. Diantara orang-orang yang mengenakan pakaian hitam, Tanisa, Vania, Gelsa, Denta, Zelin, dan juga Dea mengenakan seragam SMA mengunjungi rumah duka itu.

Berita bunuh diri itu belum tersebar, hanya saja semua sudah mendapat kabar bahwa Nara sudah meninggal.

------------------------------

To be continued...

An Older SisterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang