27 - Pecah dan melebur

28 4 0
                                    

IG: _fyanxaa.wp

------------------------------

Papa keluar dari pintu mobilnya dan berjalan dengan langkah cepat kedalam rumah. Sebelum papa sampai di pintu, gue memperhatikan mobil itu dan melihat samar-samar bahwa didalamnya terdapat seorang wanita yang duduk tepat disamping kursi kemudi.

Setelah sampai di hadapan gue, papa langsung menarik kasar pergelangan tangan gue masuk kedalam rumah bersamanya. Papa membawa gue masuk kedalam kamarnya dan langsung memaki gue dengan suara tinggi. "DASAR GAK TAU DIRI!!" Teriak papa langsung menampar wajah gue dengan tangannya. Suara tamparan itu sangat keras menggema keseluruh ruangan itu hingga terdengar oleh Naila di ruang tengah.

Gue menahan rasa sakit itu dengan wajah takut dan bingung akan kesalahan yang membuat amarah papa membeludak. Air mata gue mengalir begitu saja, menatap papa dengan tubuh gemetar dan pipi bagian kiri gue yang udah merah padam. "Kali ini kamu udah bener-bener lewat batas! Kamu juga udah hancurin masa depan adek kamu! Dan mama kamu itu-"

"UDAH YA PAA!! GA USAH BAWA-BAWA NARA!" Potong mama dari arah belakang gue yang baru saja sampai seperti memang menyusul papa. Gue gak tau apa yang terjadi antara mereka, namun kali ini lebih parah dari sebelumnya. Mama melingkarkan tangannya di pundak gue dan berjalan menggiring gue keluar dari kamar mereka. Setelah gue berdiri diluar kamar itu, mama langsung menutup pintu kamarnya.

Hal pertama yang gue lihat setelah keluar dari sana adalah tatapan polos Alexa yang melihat gue setelah mendengar suara tamparan dari kamar papa. Juga Naila yang duduk dibelakang Alexa dengan tatapan kasihannya. Gue menunduk lalu berjalan perlahan menuju kamar, saat melewati ruang tengah, Alexa menawarkan mainannya sembari tersenyum. Gue melirik Naila dan melihatnya membuang pandangan, gue ikut duduk disana bersama Naila dan Alexa.

Air mata gue kembali berlinang memandang wajah ceria Alexa yang tak tau apa-apa itu, gue gak mau dia ngerasain apa yang gue rasain. Gue berharap dia punya kehidupan yang jauh lebih cerah dari gue. Cukup gue aja yang merasakan itu semua, mereka berdua jangan.

Gue dan Naila masih diam dalam keadaan canggung itu, hanya sedikit suara tawa Alexa yang terdengar di ruang tengah. Sementara didalam kamar mama, terdengar suara gaduh yang memang selalu kami dengarkan. Mama selalu membanting barang-barang saat marah, dan papa selalu memukul saat amarahnya membeludak. Gue juga ikhlas jika yang selalu jadi pelampiasan papa itu gue, karna kalo itu mama. Alexa dan Naila gak bakal bisa tanpa mama.

"PERGI DAN GAK USAH BALIK KESINI LAGI!!" teriakan yang sangat jelas merambat ke telinga gue saat itu juga. Disusul oleh suara pintu terbuka dan yang keluar hanya papa seorang diri dengan koper ditangannya. Mama kembali menutup kasar pintu kamarnya dan membiarkan papa pergi dari rumah.

Gue, Naila dan Alexa memandang lama kearah pintu. Alexa lalu berdiri, "papa..." Serunya berlari kearah pintu mengulurkan kedua tangannya seakan papa akan datang menggendongnya. Gue langsung berdiri dan mengejar Alexa. Gue berhasil menangkap bocah itu tepat sebelum selangkah lagi kakinya menginjak teras rumah.

Gue menahan Alexa dengan pelukan sembari memandang mobil papa yang hendak berjalan dari luar pagar. "Papa..." Ujar Alexa lagi, sementara papa sama sekali tak peduli dan tetap pergi. Setelah tidak mendengar suara mobil papa lagi, mama keluar dari kamarnya. Dengan mata merah yang masih berkaca-kaca, "bawa adek kamu masuk ke dalam, udah malam nanti masuk angin dia" celetuk mama berjalan kearah kami lalu menutup pintu dan langsung menguncinya.

"Papa kemana, ma?" Tanya Naila saat mama tengah berjalan untuk kembali masuk ke kamarnya. Langkah mama terhenti menundukkan kepalanya. Tangannya seperti menyeka air mata, dan nafasnya terdengar memburu. "Maaf... Mama udah gak kuat..." Desit mama mulai menangis dihadapan kami untuk pertama kalinya. Naila yang tadinya tampak santai, mulai panik melihat mama.

Gue merasa cuma gue yang tau keadaan rumah, karna Naila gak pernah peduli tentang apa yang dilakuin papa selama ini diluar sana. Mama pasti merasa terpukul, tetapi juga merasa bersalah kepada kami karna harus hidup tanpa papa atas keputusannya. Dan untuk pertama kalinya, gue memeluk mama. "Mama gak salah kok, mama udah pilih jalan yang bener... Kami juga gak mau mama terus terusan sakit cuma karna pertahanin papa..."

"Maaf, ma..." Sambung Naila seraya mendekat dan mengelus-elus pundak mama. Alexa ikut memeluk kaki mama dari bawah, sambil tertawa-tawa karna masih tak paham kondisi yang harusnya sangat pilu itu. Mungkin Alexa berpikir kami berpelukan karna sedang bahagia.

Seburuk apapun orang itu, dan sebesar apapun rasa benci terhadapnya. Yang namanya perpisahan tetap saja menyakitkan.

Setelah mama sedikit tenang, gue dan Naila menyuruh mama untuk langsung tidur dan tidak terlalu memikirkannya. Saat kami mengantarkan mama ke kamarnya, diatas meja riasnya tergeletak kertas perceraian yang sudah ditandatangani oleh papa. Gue menahan Naila untuk keluar, "kamu sama Alexa temenin mama dulu ya tidur disini. Kasian mama sendiri, mama lagi ga baik-baik aja, Nai" bujuk gue meminta Naila untuk menemani mama.

Naila mengangguk kecil lalu menaikkan Alexa keatas kasur itu juga, sementara mama langsung diam menghadap tembok menyembunyikan wajahnya. Gue beranjak dari kamar itu dan berjalan keluar, lalu menutup perlahan pintu itu hingga rapat. Setelahnya, air mata mengalir deras membasahi kedua pipi gue. Gue melanjutkan langkah menuju kamar dengan suara tangis yang ditahan sekuat tenaga. Sesampai didalam kamar, gue mengunci pintu kamar dan langsung duduk di bangku belajar milik gue dan Naila.

Gue menarik gagang laci meja itu dan mengeluarkan sebuah pisau cutter mini.

--------------------------------

To be continued...

An Older SisterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang