20 - Hari dimana itu dimulai

16 3 0
                                    

IG: _fyanxaa.wp

------------------------------

Kurang dari dua bulan telah berlalu. Hidup gue berubah drastis seakan ruang gelap yang kini telah terpantul cahaya matahari. Gue menjalani hidup dengan penuh pertanyaan yang belum terjawab. Gue merasa perubahan itu datang dari kakak kelas yang gue kagumi itu. Gue dekat dengan keduanya dan kalian tau namanya adalah Vania dan Gelsa.

Semenjak gue menempuh sekolah baru, dan awal mula gue memakai rok abu-abu. Gue baru mulai merasakan senangnya hidup, dua bulan ini gue habiskan dengan bersenang-senang disekolah. Dengan teman-teman gue yang sangat asik. Tak jarang, setiap akhir pekan gue dan kak Vania menghabiskan waktu untuk jalan-jalan dan mengunjungi berbagai tempat wisata terdekat. Itu adalah momen yang gak bakal gue lupain, ditambah lagi akhir-akhir ini sikap mama bertimbal balik.

Mama selalu nanya hari-hari gue disekolah, menanyakan keseruan gue jalan-jalan, dan sama sekali tak melarang gue menghabiskan waktu diluar rumah. Sesekali mama menanyakan makanan yang gue mau dan juga beberapa kali membawa gue ke tempat favorit gue, taman bermain. Dan mulai dari saat itu, gue berpikir suatu kalimat "hidup itu menyenangkan"



"Ma... Nanti malam kakak ajak Denta main ke rumah ya" gue berseru ditengah gerak grusuk yang tergesa-gesa. Gue berlari keluar rumah dan menarik tuas gas motor sekencang mungkin untuk menghindari sangsi datang terlambat.

***

"Nar..." Seru Dea melambai-lambaikan tangannya diantara barisan ditengah lapangan, gue langsung berlari untuk bergabung dengan kelas gue. Berbaris tepat dibelakang Dea dan gue gak melihat Denta diantara barisan itu.

"Denta mana?"

"Paling di kantin, sejak kapan dia mau ikut baris"

"Dia gak bolos kan?"

"Enggak kok, tadi pagi udah naro tas ke kelas"

Gue merasa lega, karna Denta sudah terlalu banyak absen dikelas dan yang gue khawatirkan hanya kenaikan kelasnya. Ini hari pertama classmet yang sialnya gue mendapat bagian panitia paduan suara. Tapi untuk besok, gue udah bisa santai karna gak kepilih jadi panitia lagi. Ditengah barisan kepala sekolah mulai berpidato untuk membuka acara classmet ini.

Setelahnya, pengambilan absen dilakukan di lapangan, agar tidak terjadi kecurangan dalam buku kehadiran itu. Dibawah terik matahari, yang mana barisan kelas gue dengan kelas kak Vania itu berhadapan. Gue terus melihat kearahnya, berharap ia juga akan melihat kearah gue dan menyapa. Dia sibuk bercanda bersama teman-temannya, dan tak lama kemudian ia melihat kearah kami. Pupil gue melebar dan reflek langsung mengangkat tangan dan melambaikannya kearah kak Vania, balasannya sangat memuaskan. Ia tersenyum lebar kearah gue dan juga membalas lambaian tangan itu.

"Kumpulkan kembali kertas absen dan langsung ke kelas masing-masing" kata guru didepan. Dan dalam sekejap, lapangan itu kosong.

***

"Nia..." Panggil salah seorang teman sekelas Vania saat mereka semua bersantai menunggu lomba dimulai. Vania menoleh dan menghampiri mejanya, disana ada semua anggota cewek kelas mereka yang berkumpul untuk mengobrol bersama. "Kenapa?" Tanya Vania.

"Itu lo adek kelas yang sering nyapa kamu itu, siapa sih namanya" celetuk salah seorang dari mereka.

"Nara?"

"Nahh iyaa..."

"Nara kenapa?"

"Gapapa, cuma lo gak ngerasa aneh gitu, Nia?"

"Aneh kenapa?"

"Yaa... Kalo menurut gue ya, cara dia ke lo tu kayak bukan adek kelas ke kakak kelas gitu lo. Kek lebih, jadi kayak ada sesuatu gitu"

"Hah? Apaan sih?"

"Lo ga curiga dia suka sama lo?"

"Heh! Yang bener aja... Gak mungkin lah, mana ada kayak gituan di sekolah kita"

"Kata siapa gak ada... Lagian emang lo pernah liat dia deket sama cowok di sekolah ini?" Kalimat itu sedikit membuat Vania ambigu. Antara percaya atau tidak, Vania diam sejenak. Teringat tentang apa yang Nara ceritakan tentang dirinya.

"Dia bilang ke gue kalo dia gak pernah pacaran seumur hidup. Dia juga gak pernah deket sama cowok manapun" tutur Vania perlahan-lahan. "Naaahhh!! Kann!! Kayak nya iya deh. Liat aja tadi di barisan dia liatin lo mulu!! Lo harus hati-hati sih, Nia" kompor teman-temannya yang lain yang dominan setuju tentang pemikiran mereka.

"Kalian apa-apaan sih, gak ada hal lain gitu yang bisa dibahas? Udah Nia ga usah dengerin, kantin yok kantin" ajak Tanisa yang sedari tadi sedikit panas mendengar pembicaraan teman-temannya tentang Nara. Tanisa menarik tangan Vania dan berjalan meninggalkan kelas mereka.

"Jauhi, Nia... Bahaya tuh adek kelas!" Teriak salah satu teman Vania ditengah langkahnya yang hampir menyentuh pintu kelas. Vania dan Tanisa terus berjalan mengabaikan kalimat itu.

***

"Denta!! Nara mana? Ini serius gak ada yang jadi perwakilan kelas kita buat lomba puisi?" Desak Zelin yang sudah mondar mandir didepan papan tulis dengan tampang yang kusut. Orang yang dipanggilnya itu malah duduk santai dengan handphone di genggamannya. "Biasa... Jadi babu sekolah" jawabnya singkat dan datar.

Zelin menghembuskan nafas berat. Wajahnya sudah benar-benar lelah menjabat menjadi wakil ketua kelas, sementara ketua kelas mereka juga menjabat sebagai anggota OSIS bersama Nara. Zelin berjalan menghentakkan kakinya keras menuju meja Dea. Melihat sepasang kaki berdiri dihadapannya, Dea yang kala itu menunduk fokus pada buku di atas meja langsung menaikkan pandangan. "Lo ikut lomba puisi!!" Tandas Zelin seraya memukul meja Dea dengan telapak tangannya.

"Tunggu tunggu!! Kenap-"

"SUUTTHH!! DIAM!!" Zelin menempelkan jari telunjuknya di mulut Dea untuk menghentikan kalimat temannya itu. Dea langsung menepisnya cepat dengan ekspresi kesal. "Kenapa maksa?!"

"Kalo enggak... Gue bakal adu in lo ke guru kalo lo ujian pakai handphone" ancam Zelin menurunkan nada bicara sembari melihat keliling, memastikan tidak ada yang mendengarkan percakapan mereka. Pupil mata Dea berkeliling, lalu kembali menatap Zelin di hadapannya. Wajah yang tadinya kesal kini menjadi ekspresi cemas. "Oke" jawabnya singkat penuh unsur keterpaksaan.

------------------------------

To be continued...

An Older SisterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang