Jangan lupa ikutin akun ini juga yaaa!!!
Biar gak ketinggalan update😉
------------------------------
Baru aja duduk dikelas, semua langsung berisik. Kaki gue rasanya udah kayak mau patah berdiri selama itu, gue mulai nyenderin kepala ke meja karna udah lelah banget.
Gak lama gue ketiduran, bahkan semua suara berisik itu gak bisa lagi ganggu tidur gue yang nyenyak banget. Kalo otak lagi berisik itu emang obatnya tidur.
"Nara..." Suara itu bangunin gue. Saat melek, yang gue liat kak Vania berdiri di samping meja gue.
"Ini ya bukunya" katanya lalu pergi gitu aja. Gue liatin kak Vania yang jalan ke meja lain buat bagiin buku yang gue gak tau itu buku apa.
Sambil kucek- kucek mata, gue merhatiin buku itu. Gue mulai buka halaman-halaman dalam buku itu. Ternyata itu buat tanda tangan sekaligus pembayaran uang bulanan sekolah.
Dihalaman paling belakang, semua nama-nama pengurus OSIS tertulis disana berserta jabatannya. Dan ya, yang gue cari pertama kali adalah kak Vania.
Disana namanya tertulis sebagai anggota bidang kenegaraan, "Vania Calista" se simpel itu namanya. Ada sekitar lima puluh-an nama yang tertulis dibuku itu.
Di lembaran lain, gue nemu nama "Gelsa putri fahira jones" itu nama terpanjang yang gue temuin di buku itu. Lalu gue kembali mengalihkan pandangan dari buku itu.
Gue liat yang lain ada yang mulai minta tanda tangan ke kak Gelsa, sementara kak Vania masih belum selesai dengan pekerjaannya.
Dengan rasa takut, gue ikut maju ke depan buat minta tanda tangannya. Gue pikir bakal disuruh ini itu, ternyata enggak. Dia bahkan gak peduli siapa yang punya buku, dia langsung tanda tangan dan kembalikan bukunya ke tangan gue.
Itu tanda tangan pertama yang gue dapet. Setelahnya, kita dibolehin untuk keluar kelas untuk ngumpulin tanda tangan sebanyak-banyaknya, termasuk tanda tangan guru.
"Harus dapet semua, yang enggak gak lolos MPLS" ujar kak Gelsa saat semua pada kerumunan didepan pintu. Gue yang lagi linglung mutusin buat keluar dan keliling nyari tanda tangan sendirian.
Gue celengak-celenguk kiri kanan dan semua kakak kelas itu bikin gue takut, gak ada yang salah. Gue nya aja yang penakut, gue bahkan lebih takut sama orang dari pada setan.
Gue udah putus asa jalan kesana-kemari dan yang gue dapat cuma beberapa, gue terlalu takut buat ngomong sama orang. Akhirnya, gue mutusin buat kembali ke kelas dengan tanda tangan yang gak seberapa itu.
Gue jalan sambil tenteng buku sama pulpen, ngeliat yang lain pada disuruh nyanyi, nari, jawab pertanyaan, dan berbagai hal lagi. Gue mana berani kaya gitu.
Dikelas, cuma ada kak Vania sama kak Gelsa yang masih duduk di meja guru. Gue langsung samperin kak Vania yang lagi kosong itu, buat minta tanda tangannya.
Sementara gue jalan, kak Gelsa liatin gue dengan mata tajamnya. Sumpah, tu orang nakutin banget. Tangan gue gemetar ngasih buku itu ke tangan kak Vania.
"Baru dapet segitu?" Celetuk kak Gelsa setelah melirik buku gue yang lagi di tanda tanganin kak Vania. Dia liatin gue dengan senyum kecilnya yang kayak ngeledek.
"I-iya kak" jawab gue gugup tanpa noleh kearahnya.
"Kata pak Hendra, harus dapetin semuanya. Kalo enggak, gak bakal lolos MPLS ini" jelas kak Vania sembari ngasih buku itu ke gue.
"Iya kak" gue langsung balik badan dan keluar lagi dari kelas itu. Niatnya, kalo gak ada orang gue bakal tidur di kelas.
•
•
•Malamnya, hari hujan lagi. Gue duduk dikamar bareng Naila. Gue kesepian banget, dan mutusin buat chat kak Vania.
Gue seneng banget direspon baik kayak gitu, gue gak pernah ketemu orang sebaik dia. Dan untuk pertama kalinya, ada orang yang manggil gue berbeda.
Selama ini yang gue denger adalah "Nar" tapi kak Vania justru manggil gue "Ra". Apalagi dia yang minta di sapa, bikin gue merasa pantas jadi temennya.
Sesaat gue sibuk liatin chat itu, papa tiba-tiba aja buka pintu kamar gue. Reflek gue sama Naila langsung noleh ke arah pintu. "Nara, sini bentar" kata papa dengan suara pelan.
Gue sama Naila saling menatap beberapa detik, lalu gue berdiri dan ngikutin papa di belakang. Gue pikir bakal disuruh beli sesuatu keluar, biasanya sih rokok.
Di dapur, papa berhenti berjalan dan berbalik kearah gue. Papa liat kiri-kanan memastikan gak ada orang selain kita berdua.
"Maksud kamu apa bilang tentang lipstik itu ke mama kamu? Hah?" Sentak papa dengan wajah marah.
"Maksudnya, pa?" Tanya gue memastikan.
"Papa udah suruh kamu buang lipstick itu, kenapa bisa ada sama mama kamu? Kalo bukan kamu siapa lagi?" Geram papa dengan wajah yang diselimuti emosi.
Gue yang lagi nunduk bisa ngeliat tangan papa yang udah terkepal dan siap buat mukul gue. "Maaf pa.." isak gue pelan diambang rasa takut yang amat dalam.
"KAMU YA!!"
*Plakk
Tangan papa dengan ringan melayang di wajah gue, perlahan darah mulai keluar dari sudut bibir gue yang lecet akibat cincin di jari manis papa."Kalo mama kamu sampai minta cerai, habis kamu Nara!" Gerutunya mengacungkan jari telunjuk ke depan wajah gue.
Papa langsung pergi gitu aja. Baru beberapa langkah, ia pas-pasan sama mama yang niat ke dapur buat bikinin susu Alexa.
Dengan wajah panik, papa langsung noleh kebelakang. Gue langsung paham dan buru-buru lari masuk ke kamar mandi.
"Kenapa, pa?" Tanya mama dengan wajah datar seraya menyuruh papa minggir dari jalannya.
"Enggak, tadi papa nyari Nara" timpalnya kaku.
"Itu di toilet siapa? Bukannya Nara?"
"Ha? Iya ya? Nara!" Seru papa seakan manggil gue yang gak ketemu-ketemu. "Iya pa" sahut gue dari dalam kamar mandi. Sambil bersihin darah di sudut bibir gue dan nahan rasa sakitnya saat kena air.
"Dari tadi papa nyariin, besok motor kamu udah bisa diambil di bengkel. Pakai itu aja ke sekolah, gak repot di antar jemput lagi" katanya sebelum pergi dari dapur.
------------------------------
To be continued...
KAMU SEDANG MEMBACA
An Older Sister
Teen Fiction"kalo kangen gue, liat aja bulan..." Nara sadina pratista, anak pertama yang gak pernah nerima kalo dia punya adek. Gadis introvert yang gak pernah punya teman dan selalu ngurung diri di kamarnya. Pikirnya hidup bakal gitu-gitu aja, tapi saat masuk...