"Rev! Tunggu! Revan!!"
Dikoridor yang menghubungkan jalan menuju perpustakaan dan kelas 11 IPS itu terpaksa membuat langkah Revan terhenti. Tanpa bersusah payah menoleh Revan hanya diam menunggu orang itu tiba dihadapannya.
"Rev! Lo budeg banget ya!"
Revan menatap datar cowok berambut kecokelatan yang sedang mengatur nafas dihadapannya. "Apa?"
"Ada masalah besar!" seru Angga heboh.
Revan menghela nafas jengah. Temannya memang sangat lebay. "Masalah apa maksud lo?"
"Kembaran lo bikin ulah lagi," lapor Angga.
"Dia nge-bully lagi?"
Angga mengangguk.
"Gue gak peduli. Gue udah capek ngasih tahu dia," ucap Revan. Bukan sekali dua kali ia mencoba menghentikan tindakan Bullying yang dilakukan kembarannya namun Ravin dengan segala keangkuhannya tak pernah berhenti.
"Tapi sekarang dia nge-bully cewek. Di lapangan."
"Lalu?"
"Ravin nge-bully Sepupu gue." Angga meringis. "Kasihan anjir lo harus tolongin dia."
Tanpa pikir panjang lagi kaki jenjang Revan melangkah cepat menuju area lapangan. Cowok itu menerobos kerumunan siswa yang hanya menonton karena takut untuk melerai.
Tiba di sana, pemandangan pertama yang Revan lihat sangatlah menyakitkan mata.
Seorang gadis bertumbuh gempal tengah menangis terisak ditanah ketika tubuhnya diguyur dengan seember air keruh. Tampak Ravin tertawa bahagia bersama dua temannya.
"Udah gendut! Jelek! Ngeselin! Idup lagi!"
"Hahaha."
"Kok bisa ya Ibu lo ngasih nama lo Bunga padahal lo sama sekali gak cantik kayak bunga. Kecuali, Bunga bangke! Hahahaha!"
"Ravin."
Suara dingin itu berhasil membuat atensi Ravin teralih. Ravin mengangkat satu alisnya, tak lagi terkejut. Kedua tangan Revan mengepal kuat bersamaan dengan kakinya yang mengayun mendekati Ravin.
"Hentikan aksi lo."
Bola mata Ravin berputar. "Pahlawan kita datang! Pahlawan kita datang sodara-sodara!" ujarnya membuat pengumuman pada semua orang yang menyaksikan.
"Mau apa ya Tuan pembunuh?" bisik Ravin tepat pada telinga saudara kembarnya.
Rahang Revan mengetat menahan amarah. Kedua alis tebalnya menukik tajam. Ditatapnya mata angkuh Ravin dengan nyalang. "Hentikan atau gue laporin ke kepsek."
Nyaris saja Ravin terbahak mendengar ancaman itu. "Sekolah ini ada digenggaman Papa. Gue bebas lakuin apapun yang gue mau." Revan mendesis. "Tolol banget kalau lo ngancam gue dengan embel-embel kepsek," lanjut Ravin begitu bangga akan kuasanya.
"Sejak kapan lo kayak gini, Rav?"
"Sejak lo bunuh Mama."
Bugh!
Satu bogeman lepas tanpa kendali. Revan menatap kepalan tangannya dengan perasaan menyesal.
Sementara Ravin masih memegangi sudut bibirnya yang berdarah. Terlihat sama kagetnya karena selama ia hidup tak pernah menerima pukulan dari saudara kembarnya itu.
Bugg!
Akhirnya Ravin membalas bogeman tersebut. "Sialan! Lo pikir lo yang berkuasa disini ha?!"
"Ini bukan tentang siapa yang berkuasa tapi siapa yang memegang kebenaran!" sergah Revan geram.
Keduanya terlibat perkelahian sengit di tengah lapang. Perkelahian pertama diantara saudara kembar.
Tak ada yang berani melerai. Terlebih hari ini semua guru sedang melakukan rapat dan siapa orang yang berani melapor? Tentu tidak ada.
Karena kekuasaan Ravin membuat semua orang takut.
"Gue gak bisa pukul lo lagi." Revan memegangi kerah seragam Ravin saat cowok itu nampak sudah kehabisan tenaga untuk melawannya. Namun, disela itu Ravin malah melayangkan tinjuan kuat padanya. "Shit!"
"Gak usah sok pahlawan lo!" Ravin dengan segala egonya tak sudi menyerah. Membuat Revan dengan terpaksa membalas berbagai serangan duplikatnya itu.
Tendangan dan tinjuan tak terlerai sampai dua lelaki berwajah mirip itu sama-sama kehabisan banyak tenaga. Hidung Ravin terus mengeluarkan darah membuat Revan tak sanggup lagi melawan.
Semua siswa bergegas memeriksa keadaan Ravin yang terkapar sementara Revan masih berdiri tegap dengan tatapan kosong. Tak berapa lama Angga dan Naufal datang menghampiri dan memopong tubuh cowok itu berjalan ke tepi lapang.
.
.
.
.
.
.
.