Revan mengernyit saat menyadari mobil yang ia tumpangi tidak membawanya ke rumah tapi ke tempat lain. Revan bangun dari sandarannya. "Kenapa berhenti disini?" Ia melempar pertanyaan pada Angga.
"Lo kan tinggal di sini bego," jawab Angga gemas.
Alis milik Revan semakin mengerut dalam. "Sejak kapan?" tatapannya menyorot curiga ke arah Bunga. "Apa jangan-jangan Intel kalian suka buntutin gue kemana-mana?"
Bunga menoleh dan menatap cowok itu sebal. "Perasaan aku mulu yang di musuhin," herannya.
"Nanti kita ceritain. Sekarang ayo turun gue pengen ke toilet nih." Angga turun lebih dulu di susul yang lainnya.
Masih dengan perasaan dongkol, Revan berjalan menuju rumah kosnya dengan Bunga, Angga dan Naufal yang membutut dibelakang.
Revan meraih kunci rumah yang ia selipkan di bawah keset kaki lalu membuka pintu rumahnya.
Keempatnya masuk ke dalam. Revan meringis kecil saat melihat keadaan di dalam tampak acak-acakan. Pakaian yang belum dilipat ke dalam lemari berserakan di lantai. Revan terlalu malas untuk menyusunnya dan memang ia menunggu hari libur untuk membereskan barangnya.
"Wow. Pemandangan yang indah." Naufal berdecak kagum.
"Toiletnya dimana nih." Angga mengedar pandangannya. Revan menunjuk area dapur yang disampingnya terdapat toilet dan Angga pun langsung melimpir ke area itu.
"Ternyata lo termasuk cowok normal yang males beres-beres pakaian kayak gue, Rev," ucap Naufal yang sudah mendudukan dirinya di lantai beralas tikar. Bunga duduk di sampingnya.
Revan mendengus. "Lo pikir gue gak normal?"
Naufal mengangguk. "Gue pikir lo itu termasuk cowok yang rajin dan anti banget berantakan. Ternyata gue salah. Gue jadi bersyukur karena gue punya kesamaan sama lo, Rev. Semoga nantinya otak gue sama pinternya kayak lo. Amin." Ia mengusap wajahnya dramatis.
Revan hanya mengerling matanya.
"Mau aku bantu rapihin kak?" Bunga mendekati Revan yang tengah sibuk merapikan pakaian miliknya yang tidak sedikit.
"Gak perlu. Gak usah sentuh barang gue."
Bunga mencebik. "Yaudah. Barang mahal gak boleh disentuh," gumamnya meledek. Namun saat mendapat tatapan tajam ia langsung menyengir takut.
Angga muncul setelah selesai melakukan keperluan mendadaknya. Duduk bergabung bersama mereka bertiga.
"Rev, apa lo diusir sama Papa lo?" tanya Angga mulai mengintrogasi.
Revan melirik Angga sejenak. "Siapa bilang?"
Angga berdecak. "Gak mungkin lo tiba-tiba mutusin hidup sendiri kayak gini. Gak usah bodohin gue lagi."
Revan terdiam tanpa kata. Benar yang dikatakan Angga. Tak perlu ada yang harus disembunyikan lagi karena mereka sudah tahu.
"Dugaan gue benar kan!" seru Naufal. "Kenapa sih Rev lo gak pernah cerita sama kita kalau sekarang lo ngkos disini? Kalau bukan karena pak Maman kita gak bakal tahu deh kayaknya."
Revan menatap Naufal. "Pak Maman?"
Angga mengangguk. "Pak Maman kan tinggal di daerah sini. Kemarin dia cerita ke gue kalau dia sering liat temen gue yang jarang senyum dan mukanya yang kayak orang luar negeri di daerah rumah kontrakan sebrang dia. Ya gue langsung ngeh kalau orang itu elo."
Mendengar penjelasan itu Revan menghela nafas panjang. Dunia ini memang sempit. Mustahil bisa menyembunyikan diri dari banyaknya orang-orang.
"Pinter banget lo boongin kita selama ini," lanjut Angga geram. Ia dibuat kaget berkali-kali oleh fakta yang cowok itu alami.