13.

2.6K 107 0
                                    

Revano menatap jam berwarna hitam yang melingkar ditangannya lantas beralih menatap hoodie berwarna putih yang ia pakai ke sekolah hari ini, kemudian mendengus kecil.

Tidak puas memberi hadiah mobil, sebelum pulang Nenek Hera meninggalkan dua barang ini dikamarnya. Nenek Hera sangat tahu kalau cucunya suka mengoleksi jam tangan dan hoddie.

Dua barang yang selalu melekat pada diri Revano.

Revan merasa lebih baik setelah bertemu dengan Nenek Hera setelah sekian lama. Walau pun hanya satu hari karena wanita itu harus kembali lagi ke Aceh.

Tak terhitung berkali puluh kali Hera mengajak Revan untuk tinggal bersama wanita itu, namun Revan tak pernah ingin jauh dari ayah dan kakaknya. Walau pun sering mendapat banyak luka dan kesakitan, Revan mulai membiasakan diri karena setidaknya ia bisa melihat wajah dan tawa bahagia mereka jika masih ada dalam satu atap.

Cowok itu sudah kehilangan sosok Ibu. Ia tak ingin sampai kehilangan sosok ayah dalam hidupnya. Baginya--Ganta sangat berharga. Namun Dimata Ganta dirinya adalah sampah.

Tidak apa, mungkin suatu hari Ganta akan melihatnya sebagai Revano yang pernah pria itu gendong waktu kecil. Revan akan meraih kembali kasih sayang yang hilang itu. Semua hanya soal waktu bukan?

Mobil yang dilajukannya tiba di area sekolah, Revan memarkir mobil dengan hati-hati lalu keluar dari sana. Kakinya langsung mengayun menuju area lapangan.

"Kak Revan."

Revan menoleh. Bola matanya berputar lantas kembali melanjutkan langkah.

"Kak! Ihhh tungguu."

Bunga mencoba menyampai langkah Revan yang lebar dan cepat. Hingga akhirnya, ia berhasil berjalan di sisi Revan. "Kakak kemarin ulang tahun ya?"

"..."

"Iya kan bener?" Bunga menaikan alis dengan senyum merekah. "kalo gitu aku ucapin selamat ulangtahun untuk kakak. Semoga kak Revan selalu diberi banyak cinta," ucapnya dengan riang.

"..."

"Kak Rev----awh!" Bunga memekik saat tubuhnya sudah mendarat kasar di atas tanah lapangan. Ia meringis lalu memeriksa keadaan lututnya yang perih. Lalu kepalanya mendongak menatap Revan yang hanya diam menonton.

"Makanya kalau jalan tu pake mata bukan pake mulut," ujar Revan pedas. Mendengar kata menyakitkan itu sontak bibir Bunga bergetar, menahan luapan tangis yang ingin meledak.

"Bunga!"

"Omaygat Bunga Mentari!" Teman-teman Bunga datang dari arah Utara dengan berlari. Mereka sigap membantu Bunga berdiri dan membawa gadis itu menuju UKS. Tak mendengarkan celoteh khawatir teman-temannya, sepanjang perjalanan tatapan Bunga terus tertuju pada manusia berwajah datar yang masih berdiri di tempat tadi.

Manusia menyebalkan itu bahkan tak bergerak menolongnya sama sekali tapi malah mengatai.

Apa Revan titisan Dajjal? Batin Bunga heran sekaligus marah.

Revan menggeleng pelan lantas melanjutkan langkahnya menuju kelas. Menaiki anak tangga menuju lantai tiga. Kedatangannya langsung disambut oleh Angga dan Naufal.

"Gue tadi liat Bunga jatoh didepan lo. Kenapa lo gak tolong dia?" Angga menatap Revan dengan raut kesal. Walau Bunga menyebalkan, ia tetap peduli pada sepupunya itu.

"Dia yang salah karena jalan gak liat depan," jawab Revan enteng.

"Seenggaknya lo bisa nolong dia atas dasar kalau dia itu sepupunya gue, kalau lo gak bisa liat dia sebagai cewek yang lagi terluka. Lo gak punya hati nurani?" tanya Angga. Ia semakin geram mendengar jawaban Revan.

Lesion (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang