Revan memarkir motor sport hitamnya di area parkiran sekolah. Melepas helm full face, lalu menyugar rambut lembabnya yang berantakan. Ia tidak sempat sisiran.
Wajah penuh lebam keunguan itu sukses mengundang banyak tatapan ketika kaki jenjang Revan berjalan melintasi lapangan. Namun si empu hanya terus berjalan, tak memperdulikan semua mata itu.
Mereka tidak penting.
Tapi, bahkan disaat wajahnya penuh luka, ketampanan Revan masih terlihat sempurna dimata kaum hawa. Sayangnya, tak ada yang berani untuk sekedar mencari perhatian karena semua tahu Revan adalah musuh si penguasa sekolah.
Mata Revan terfokus pada ponsel dilayarnya yang baru saja berdering. Ia mengerjap heran ketika tahu siapa orang yang baru saja mengiriminya pesan chat. Tentu saja, ini sangat jarang terjadi. Bahkan langka.
Ravin : temui gw ditmn blkng. Gw prlu bcra.
Dimasukannya ponsel ke saku celana, langkah Revan kini terayun menuju taman belakang. Ketika tiba disana, Ravin terlihat sudah bersandar pada pohon dengan tangan bersedekap. Jangan lupakan raut kebencian yang selalu terlukis diwajahnya.
"Gue gak nyangka, lo suka mabok-mabok juga ternyata."
Alis Revan terangkat. Sedikit maju mengikis jarak dengan saudaranya. "Itu dulu," ungkapnya datar. Entah dari mana Ravin bisa tahu itu.
Ravin tersenyum culas lalu berdiri tegak. "Kalau papa tahu soal ini, kayaknya bakal seru."
Giliran Revan tersenyum. Tidak salah lagi. Ia sudah tahu akal licik Ravin yang selalu ingin membuatnya dihajar habis-habisan oleh ayah mereka. "Lo kayaknya puas banget liat gue terluka tiap hari."
"Hmm. Gue gak pernah bisa liat lo tenang setelah bunuh mama, kan?" Ravin terkekeh ketika tak terdengar jawaban dari mulut saudaranya. Matanya menelisik wajah Revan. "Muka lo bonyok. Lo habis ngapain hah? Apa lo mencoba bunuh orang lagi?"
Rahang Revan mengeras. Seharusnya tadi ia tidak datang kesini, seharusnya ia tahu bahwa Ravin hanya ingin memberi robekan besar dihatinya. "Gue berantem sama preman yang nyangka kalau gue adalah lo. Mereka bodoh, padahal jelas-jelas warna rambut gue sama lo beda."
Bola mata Ravin sedikit mencuat dari kelopak. Wajah angkuhnya hilang entah kemana. Yang Revan lihat saat ini adalah wajah kegelisan yang kentara. Revan jadi penasaran. "Apa yang lo lakuin sampai harus berurusan sama mereka?"
Beberapa detik terdiam, Ravin membuang dalam dalam. Mendengar pertanyaan itu artinya Revan belum tahu apapun. Ia merasa lega karena preman-preman itu tidak mengatakannya.
"Gak perlu ngurusin apa yang gue lakuin." Kemudian ia pergi melewati Revan meninggalkan area taman saat bel masuk sudah berbunyi.
....
Ketika pelajaran sedang berlangsung Revan sedikit tak fokus karena pikirannya tertuju pada Ravin. Bukan, pada sesuatu yang sudah cowok itu lakukan. Kenapa Ravin sampai terlihat ketakutan ketika ia menyebut preman-preman itu?
Sebenarnya apa yang disembunyikan kembarannya?
Suara disampingnya membuyarkan lamunan Revan.
"Rev, lo abis gelut sama siapa sih?"
Revan mendesis. "Kalau sekali lagi gue dengar pertanyaan itu, gue buat muka lo sama kayak gue."
Mendengar peringatan serius itu Angga langsung mencebik. Selalu saja ditutup-tutupi. Sekali lagi, Revan tak pernah mau terbuka padanya maupun Naufal.
Selang beberapa saat akhirnya bell istirahat berbunyi. Naufal, Angga dan Revan langsung berkunjung ke kantin karena perut mereka sudah lapar.
Mie ayam dan es teh selalu menjadi menu pilihan favorit mereka.