Yuni tak hentinya memandang cemas wajah Revan sembari terisak. Sudah mengabdi puluhan tahun pada keluarga Errando membuat Yuni mengetahui segala yang terjadi pada Revan sejak kepergian Diandra.Cacian, tamparan, siksaan tak pernah luput tanpa sepengetahuannya. Namun ia hanya bisa menyaksikan diam-diam meski hatinya meronta ingin melindungi Revan. Apalah daya dirinya yang tak punya kuasa.
Entah apa yang ada dipikiran Ganta sampai tega berbuat sadis terhadap putranya yang bahkan mempunyai sikap lembut dan kebaikan hati.
Kemurahan hati Revan mampu menyentuh siapa saja untuk mencintainya, kecuali Ganta.
Ngh..
Kelopak mata indah Revan terbuka perlahan. Mata legam itu mengerjap-ngerjap mencoba menyesuaikan cahaya dihadapannya.
"Mbak...."
"Iya Den?"
Revan memegangi tangan Yuni. "Mbak nangis?"
Yuni hanya menunduk.
"Mbak Yuni kenapa nangis? Revan udah baik-baik aja." Guna meyakinkan cowok itu menarik seulas senyum kecil.
"Den, maafin Mbak," lirih Yuni pelan. Hatinya terasa sesak. "Maafin Mbak ya Den?"
Lagi, Revan menunjukkan senyum tipisnya. "Iya, Mbak."
Sret.
Tatapan Revan bergulir ke arah pintu yang terbuka. Buram-buram matanya menemukan siluet seorang pria berbadan tegap dan juga wanita berpakaian rapi.
Itu Ganta dan dokter.
Segera Yuni menyingkir dari kursi dihadapan Revan.
"Sebaiknya Tuan menegurnya jika dia kembali mogok makan atau hal seperti ini bisa terjadi lagi pada putra anda," ucap dokter pada Ganta.
"Baik, Dok. Saya akan menegurnya."
"Ohh kamu sudah siuman?" Dokter menatap Revan seraya tersenyum. "Ayahmu bilang kamu mogok makan karena putus dari pacarmu ya? Itu gak baik, nak. Jadi, mulai sekarang kamu harus makan ya?"
Revan bergeming. Mencoba mencerna apa yang barusaja masuk ke telinganya. Pacar? Mogok makan? Apa maksudnya?
"Tapi untunglah kamu minum. Jika kamu tidak makan dan minum nyawamu nyaris terancam, nak."
Lagi-lagi Revan membisu.
Dokter beralih menatap Ganta. "Lebih perhatikan lagi kondisi putramu, Tuan. Saya permisi."
"Baik, dok. Terimakasih."
Sang dokter wanita pun pergi dari ruangan begitu juga Yuni yang mendapat kode mata dari Ganta untuk meninggalkan mereka berdua.
Kini, tinggallah Revan dan papanya.
"Bagaimana rasanya kelaparan?"
Revan memandangi wajah datar Ganta lalu mengerjap lemah. "Rasanya sakit. Aku pusing dan lemas, Pah."
Ganta berdecih. "Yang kau rasakan tak seberapa dengan rasa sakit yang Ravin rasakan karena ulahmu. Ingat bahwa aku tidak pernah main-main dengan peringatanku. Jadi jangan pernah lagi membuat Ravin terluka atau aku bisa membuatmu lebih tersiksa dari ini."
Puas melontarkan amarahnya pria itu pergi dari hadapan putranya. Revan membuang nafas lewat mulutnya, berharap bisa membuang sesak yang menggerogoti hati.
Tidak. Tidak ada air mata yang jatuh. Karena ia sudah terbiasa menerima kebencian itu.
Hanya saja, hatinya tak pernah terobati.
Ternyata hukuman yang dimaksud Ganta adalah mengirimnya ke rumah sakit.
Kenapa tidak langsung siksa saja?
Kenapa tidak langsung cambuk saja sampai ia pingsan?
Ganta selalu punya banyak cara untuk membuat putranya menderita.
....
"Chat gue masih gak dibales sama Revan. Sebenernya tu anak kenapa ya?" tanya Angga pada Naufal disampingnya. Mereka berdua tengah berjalan menuju kelas.
"Gimana kalau setelah pulang sekolah kita samperin Revan ke rumahnya ?" usul Naufal. "Perasaan gue gak enak. Gue takut ada hal buruk terjadi."
Angga mengangguk setuju. "Oke."
Dua cowok itu tiba di koridor dan masuk ke dalam kelas namun keduanya langsung mematung kaget ketika menemukan seorang cowok berwajah datar sedang duduk damai dikursi dekat kaca.
"Lah ini beneran elo?" Angga mendaratkan tubuh samping Revan. Menatap wajah datar temannya yang sedang anteng membaca buku paket.
"Rev, ngomong napa biar gue gak nyangka kalau lo cuma hantu yang nyamar jadi temen gue," ucap Angga dongkol.
Revan menutup buku paketnya. Lalu menatap kedua temannya yang sedang memandang wajahnya lamat-lamat. Ia berdecak keras. "Apa sih?" tanyanya risih.
"Lo tega banget ya jadi temen!" Naufal berseru kesal.
"Iya anjir! Chat gak dibales telepon gak diangkat mentang-mentang lo manusia aneh bikin orang khawatir seenak jidat. Sekarang tiba-tiba lo ngagetin gue dengan muka lo yang pucet kayak gitu." Angga ikut-ikutan nggas lantaran kesal.
"Sorry."
Naufal melotot. '"Gitu doang?"
Angga dan Naufal kompak saling memandang. Revan memang manusia bebal berkedok tampan.
"Sorry adalah kata mutiara seorang Revano," ucap Angga dramatis.
"Bener. Itu ibarat berlian yang mahal." Naufal menimpali dengan raut kagum dibuat-buat.
Namun, itu memang ciri khas Revano Errando. Selalu memberi respon dingin dan singkat. Dan segala yang terjadi pada cowok berwajah plat itu hanya dia sendiri yang tahu. Angga dan Naufal bukan tidak berusaha tapi Revan selalu menyembunyikan segalanya dengan baik. Berlagak baik-baik saja adalah kehebatannya.
.
.
.
.
.
.
