Linu. Itulah yang Revan rasakan ketika dirinya tersadar dari tidur panjangnya. Seluruh tubuhnya terasa kebas. Ia mencoba menarik kelopak matanya agar terbuka sempurna.
Matanya mengedar pelan, membuatnya tersadar tubuhnya tengah terbaring di rumah sakit. "Ravin," gumamnya ketika teringat kondisi Ravin malam itu.
"Den, mana yang sakit? Mau Mbak panggilin dokter?"
Mata Revan bergulir ke samping, mendapati wanita paruh baya yang menatapnya cemas. Ia menggeleng, memaksakan diri untuk bangun namun Mbak Yuni malah menahannya.
"Mau kemana kamu?"
"Dimana Ravin? Aku mau lihat dia. Gimana kondisinya sekarang?"
"Ravin baik-baik, Den." Tangan Mbak Yuni mendorong pelan bahu Revan agar kembali berbaring, namun malah ditepis. Dengan brutal cowok itu mulai mencopot selang yang menempel ditubuhnya lalu kakinya beranjak turun dari ranjang.
"Awh."
Revan meringis kala merasakan nyeri luar biasa di perutnya. Mungkin karena tinjuan yang ia terima.
"Tuh kan kamu masih sakit. Udah diam dulu mbak mau panggilin dokternya dulu." Mbak Yuni baru akan beranjak namun Revan lebih dulu menahan lengannya.
"Jangan. Aku mau lihat keadaan Ravin."
"Ravin udah ditangani sama dokter. Mungkin dia juga udah siuman. Tapi sekarang kamu harus istirahat dulu. Kamu juga terluka parah, Den...." Mbak Yuni menatap sendu, mencoba membuat Revan mengerti karena ia sangat cemas dengan kondisi bocah tampan itu.
"Aku udah baik-baik aja. Please, mbak, antar aku keruangan Ravin. Aku pengin liat dia." Revan meraih tangan Mbak Yuni dan meremasnya.
Mbak Yuni terdiam lama, yang ujungnya mengangguk karena membatahkan pun Revan tetap akan nekat menemui kembarannya. Mbak Yuni paham betul karakter anak itu.
"Baik, ayo."
Dengan penuh kehatian-hatian, Mbak Yuni menuntut Revan menuju ruang rawat Ravin yang tak jauh dari ruang yang ditempatinya. Setelah tertatih-tatih, akhirnya Revan tiba didepan pintu rawat saudaranya. Ia mendorong pintu pelan lalu masuk dan mendekati ranjang. Ditatapnya wajah Ravin yang masih terpejam damai.
"Rav.... Lo gakpapa, kan?" Revan memandang wajah yang pucat pasi, tangannya memberanikan diri mengusap kepala yang terbalut kain kasa. Membuat bayangan darah kental kembali menyelubung pikirannya.
"Ini salah gue. Harusnya lo gak ikut gue kemarin. Harusnya gue gak nyuruh kita berhenti di sana," lirihnya sarat akan sesal.
"Menjauh dari putraku, Sialan!"
Revan menoleh cepat. Belum sempat ia bersuara, tangan kasar Ganta sudah lebih dulu mendorongnya dari samping brankar Ravin.
"Revan!" Mbak Yuni menutup mulut menatap Revan yang terjerembab di lantai. Segera ia meraih tubuh anak itu yang meringis kesakitan.
"Bangun, nak, ayo pergi dari sini." Wajah Mbak Yuni berderai air mata. Tak kuasa melihat Revan yang terus kesakitan.
"Jangan menolong anak bodoh itu. Biarkan dia kesakitan karena sudah membuat Ravin meregang nyawa. Biarkan saja dia sekarat."
Jleb. Revan membeku, menelan mentah-mentah kalimat terakhir itu tanpa perantara. Tubuhnya tak lagi merasa sakit karena semua rasa sakit kini berpusat di ulu hatinya.
Kakinya yang berusaja berdiri, terasa lemas.
Matanya menatap kosong pada sepatu yang digunakan Ganta, tak lagi berani menatap wajah penuh amarah pria itu.