Di sore yang cerah itu Ganta duduk tenang di salah satu bangku taman komplek. Bibirnya tersenyum memerhatikan satu bocah yang sedang berusaha menyeimbangkan sepeda yang ia kayuh.
"Halo Papa!"
Dengan gaya sombongnya anak manis itu melambai satu tangannya pada sang papa. Melihat hal itu Ganta bangkit dari duduknya. "Nak, awas jatoh. Pelan-pelan aja bawa sepedanya," ujarnya khawatir.
"Revan gak akan jatoh Papa! Revan kan udah bisa naik sepeda!" pekik Revan sambil terus mengayuh sepedanya dengan semangat.
Mendengar itu Ganta hanya tersenyum. Namun tak lama setelah itu,
Brugh.
Ganta yang hendak duduk pun urung. Ia langsung berlari menghampiri putranya yang barusaja jatuh bersama sepedanya.
"Mana yang sakit? Dimana yang sakit, nak?" Dengan cemas ia langsung menggendong tubuh Revan dan membawanya ke tempat duduk.
"Huwaa kaki Revan berdarah...."
Di atas bangku kayu, Revan menangis tersedu-sedu sampai ingusnya keluar. Ganta langsung berjongkok dan memeriksa luka di kaki sang putra. Dengan penuh hati-hati ia meniup-niup luka itu. "Sutt. Anak papa gak boleh nangis. Anak papa kan kuat."
"Perih Papa....." Revan terus menangis sesenggukan.
"Sekarang kita pulang biar kaki kamu di obatin di rumah. Mau diobatin sama papa atau sama Mama?" Ganta mengusap pipi ranum Revano yang basah.
"Papa."
Ganta tersenyum. "Mau Papa gendong?"
Revan mengangguk kecil dan langsung mengulurkan kedua tangannya pada Ganta. "Anak papa jagoan," ujarnya sambil mengusap surai hitam lurus Revano.
Ingatan itu bergulir. Kenangan manis lainnya tiba-tiba muncul secara bergantian.
Ganta menoleh pada putra kecilnya yang mengitip dari balik pintu. "Masuk Revan."
Revan pun masuk begitu mendapat izin. Ia berdiri disamping papanya yang sedang duduk dihadapan laptop. "Papa jangan duduk disini terus."
"Sebentar lagi selesai kok, nak." Ganta mengusap sekilas puncak kepala Revan.
"Ayo ikut Revan, Pah. Revan lagi main ular tangga sama Ravin tapi Ravin mainnya curang. Mama juga belain Ravin terus."
Mendengar itu Ganta tersenyum. Tanpa berpikir lama ia langsung menutup laptopnya. "Ayo."
Ingatan lainnya muncul. Kisah usang yang terlupakan itu seolah menariknya lebih dalam.
"Revan lebih sayang Papa daripada Mama."
Ganta terdiam mendengar penuturan putranya itu. "Kenapa kamu bilang begitu?"
"Mama sayangnya cuma sama Ravin. Mama gak sayang sama Revan."
"Kan Ravin lagi sakit. Kalau udah sembuh Mama pasti perhatiin kamu lagi. Kamu gak boleh bilang begitu nanti kalau Mama dengar Mama pasti sedih."
Revan menatap Ganta dengan sorot yang dalam. Sorot hangat dan indah yang selalu Ganta cintai. "Revan gak mau liat mama sedih."
"Bagus. Mama dan Papa selalu menyayangi kalian berdua."
Revan mengangguk paham. "Kata temen-temen Revan papa itu ganteng dan kaya raya. Tapi Revan bilang sama mereka Revan lebih ganteng dari papa. Terus mereka malah ketawa. Apa Revan gak ganteng?"
Ganta berusaha menahan tawanya. Anaknya memang selalu menghibur. "Revano emang lebih ganteng dari Papa. Apalagi kalau udah besar. Kamu dan Ravin juga akan lebih kaya raya dari Papa."
