Meski Ganta sudah menyebutnya pengemis setelah mengetahui ia bernyanyi di cafe, nyatanya Revan masih tetap bekerja di sana.
Revan tahu jika ia ketahuan masih bekerja disini, pasti Ganta akan marah besar padanya. Tapi apapun itu, Revan hanya perlu menahan dan menerimanya.
Revan tak bisa meninggalkan pekerja ini karena dua hal, yaitu Arram dan ibunya Naufal.
Karena bocah kecil yang pertama kali ia temui di jalan itu lah yang membuat Revan berhenti mabuk dan mencoba memperbaiki kedekatannya dengan sang pencinta.
Lalu, hanya Naufal yang bekerja karena benar-benar membutuhkan uang untuk pengobatan Ibunya. Sementara Angga bekerja karena ia bertekad ingin menabung dari hasil keringatnya sendiri untuk masuk kuliah setelah mengetahui bisnis orangtuanya tak lagi stabil.
Sepulang dari cafe, Revan membelokkan motor sportnya pada toko kue ketika pikirannya tertuju pada Arram. Ia merindukan anak manis itu.
Arram pasti sangat senang jika ia membawa banyak makanan kesukaannya untuknya.
Selesai berinteraksi dengan pedagang, Revan kembali melaju dengan motor sportnya.
Saat masuk ke lorong sempit, Revan memelankan laju motor ketika dari jarak beberapa meter terlihat beberapa orang berbadan besar menghadang jalannya. Karena mereka tak mau menyingkir ia pun terpaksa memberhentikan kendaraannya.
"Ini bocah yang bos bilang waktu itu kan?" ucap salah satu pria yang wajahnya dipenuh tato. Dua pria lainnya mengangguk terlihat yakin.
"Jadi bocah ingusan ini masih punya nyali buat muncul setelah apa yang udah dia perbuat?" Si pria bertato sudah berdiri dihadapan Revan yang baru saja turun dari motor. Revan bereaksi dengan alis kiri yang terangkat karena tak paham.
Dirinya tak mengenal siapa tiga preman dihadapannya ini.
"Gara-gara keteledoran lo bos kita ketangkap polisi. Bocah kayak lo emang gak bisa hati-hati." Satu pria bertindik ikut mendekat pada Revan. "Sekarang lo gak bakal selamat. Waktu itu lo selamat karena keberuntungan dari sirine aparat. Tapi sekarang? Siapa yang bakal nolong lo bocah?"
Revan masih diam. Sama sekali tak paham maksud arah pembicaraan yang mereka katakan. Setelah berpikir mencari jawaban dari yang mereka katakan, akhirnya Revan sadar yang dimaksud tiga pria itu bukanlah dirinya.
Mungkin, yang dimaksud mereka adalah Ravin.
Tapi untuk apa Ravin berurusan dengan preman-preman ini?
"Kasian banget ni bocah. Kayaknya mau nangis," kekeh pria lain berwajah garang dengan muka mengejeknya.
Mendengar ejekan itu senyum miring di wajah Revan tercetak. Hal yang sukses mengundang amarah tiga pria dihadapannya. Hingga tanpa pluit panjang satu bogeman mendarat mulus diwajah Revan.
Setelah tersungkur beberapa senti, Revan mengeka darah di sudut pipinya lalu kembali menoleh pada si tersangka yang tak berapa lama mendekat padanya lagi lalu melayangkan tinjuan keras yang kedua kali.
Respon Revan hanya tersenyum. Ia merindukan ini.... Merindukan manisnya pertempuran dan banyaknya darah. Lagi pula, sudah lama ia tak pernah menghajar manusia-manusia berisik.
Ketika kepalan tangan sudah melayang lagi ke arahnya dengan mudah Revan menangkap tangan itu lalu ia pelitir keras kemudian ia tendang kuat dada pria itu hingga terpental.
Brug!
Si pria penuh tato sudah terkapar di atas motornya yang ikut ambruk dengan badan. Ia meringis kesakitan merasakan tangannya yang nyaris patah.
"Bangs*t!!" Lalu pria bertindik besar maju memberi serangan yang satu pun tidak mengenai tubuh Revan karena cowok itu menghindar dengan lihai. Sebaliknya, ia malah dibuat senasib dengan temannya yang meringis kesakitan di atas tumpukan motor.