29.

3.3K 118 8
                                    

Naufal menggeleng kepalanya melihat tingkah Angga. Padahal cowok itu sudah bisa berjalan normal tapi ia berakting kakinya masih sakit agar Sita bisa membantunya berjalan.

"Sit. Lo mau-mau aja bantuin Angga jalan. Dia cuma ekting itu," ucap Naufal heran.

Sontak Angga mengernyit. Lalu menatap Sita parau. "Kaki aku masih sakit, sayang. Beneran."

Sita hanya tersenyum. Ia tahu Angga sedang berekting tapi karena sudah bucin akut ia tidak akan pernah keberatan. Apalagi melihat satu tangan sang kekasih masih di balut perban dan belum bisa melakukan apa-apa.

"Makanya lo cari pacar biar gak iri sama kebahagiaan kita." Angga kembali melanjutkan langkahnya bersama Sita.

Naufal hanya memutar bolanya lalu kembali mengekori sepasang kekasih itu. Angga hanya rawat inap satu hari jadi pagi ini mereka bertiga akan pulang.

Ketika berjalan di lantai dasar Naufal menghentikan langkahnya saat melihat beberapa perawat rumah sakit tengah mendorong brankar seorang pasien dengan langkah tergesa.

Mungkin korban kecelakaan? Entahlah. Naufal tak begitu tahu karena Seluruh wajahnya ditutup kain.

Pandangan Naufal turun saat melihat sesuatu jatuh dari atas brankar. Ketika perawat sudah membawa pasien darurat tersebut ke satu ruangan, Naufal segera berjongkok untuk mengambil benda kecil itu.

Ternyata sebuah kartu nama.

Alis Naufal mengerut dalam. Memerhatikan kartu yang ia pegang dengan raut terkejut. "Ini kartu nama Revan. Kenapa ada disini?"

"Fal."

Angga dan Sita menatap benda di tangan Naufal penasaran. "Itu punya siapa?" tunjuknya pada kartu nama itu.

"Punya pasien tad--"

Ucapan Naufal menggantung. Ia menoleh ke arah brankar pasien tadi dibawa. Kemudian kepalanya menggeleng kuat. "Ini kartu nama milik Revan. Tap-tapi ini jatuh dari brankar pasien kecelakaan barusan, Ga."

Kini, Alis Angga ikut berkerut. "Mana gue liat." Ia merampas kartu nama itu. Dan ternyata benar. Nama temannya tertera jelas di sana--Revano Errando.

Sita meringis. "Kok bisa ya? Kan kak Revan kemarin pulang buru-buru." Hari ini ia mengambil cuti jadi tak tahu menahu soal pasien barusan.

Ketiganya tak bisa beramsusi dengan baik.

"Kita harus pastiin kalau pasien itu oranglain. Mungkin aja orang itu udah berbuat sesuatu sama Revan," ucap Angga dengan yakin. Naufal pun mengangguk cepat. Tanpa berlama-lama ketiganya langsung bergegas pergi menuju satu ruangan otopsi yang terletak diujung koridor.

"Dok! Dokter Arlan!" Sita memanggil dokter bedah yang lebih tua darinya itu. Dokter itu pun menghampiri Sita dengan wajah bertanya.

"Kamu masih disini, dokter Sita?"

Sita menganggguk. "Apa pasien darurat barusan dalam keadaan kritis?"

"Dia sudah meninggal. Jasadnya ditemukan di jurang dengan luka tembak dikepala dan memar diseluruh tubuh," jelas Dokter Arlan.

Angga dan Naufal kompak membulatkan mata. Kemudian Naufal mendekati sang dokter. "Saya menemukan barang ini jatuh dari brankar korban tadi."

Dokter Arlan mengambil kartu nama yang Naufal sodorkan. Kemudian memeriksanya. "Oh benar. Ini milik korban."

Naufal mengernyit. "Tapi ini milik teman saya."

Dokter Arlan terdiam. "Dia adalah teman anda?"

Naufal berdecak lalu tanpa meminta izin ia langsung menerobos masuk ke dalam ruangan yang ada didepannya. Angga dan Sita terpaksa ikut menyusul cowok itu.

Lesion (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang