Di sore yang cerah kali ini Bunga mengunjungi salah satu Gramedia terbesar di Jakarta bersama Sita untuk memburu salah satu novel yang baru saja terbit. Keduanya sibuk berkeliling menyusuri rak-rak yang penuh dengan buku. Melihat buku yang menjadi incarannya, Bunga sigap mengambil buku tersebut sembari memekik senang.
"Ketemu Ta! Akhirnya bisa peluk kak Revan versi novel." Bunga memeluk buku tebal itu dengan manjanya. Pemeran utama dalam novel itu mempunyai sifat seperti Revano, maka ia menyebutnya Revan versi novel.
"Istigfar, Bunga." Sita geleng-geleng kepala melihat tingkah temannya. "Bukannya lo bisa peluk kak Revan versi nyata."
Bunga menatap Sita dengan bibir bawah maju. "Gak bisa lah."
"Why?"
"Dia bakal pergi, Ta."
Sita mengangkat dua alisnya. "Pergi kemana?"
"Australi." Bunga berjalan menuju tempat duduk yang tersedia di sebelah ruangan.
"Serius lo?" Sita mengekori.
Bunga mengangguk. Bokongnya mendarat di atas sofa empuk diikuti Sita. "Dia bakal kuliah di Autrali. Tapi...." Bunga mengantung ucapannya membuat Sita semakin penasaran.
"Tapi apa?"
Raut wajah Bunga yang awalnya lesu dengan cepat berubah ceria. "Dia tetap bisa aku genggam, Ta. Karena setelah pulang dari Autrali dia bakal lamar aku," ujarnya senang.
Kedua mata Sita membelalak. "Demi apa lo?!" pekiknya tertahan.
"Demi Allah." Bunga menghela nafas panjang kala tubuhnya ia sandarkan pada punggung sofa. "Aku insecure tau, Ta."
"Kenapa emang?"
"Kak Revan taat beragama. Sementara aku...."
Sita tersenyum paham. "Nanti kak Revan bisa bimbing lo jadi lebihbaik. Coba kalau gue, gak bisa saling membimbing karena jelas Tuhan gue sama dia beda."
Bunga menatap raut wajah Sita yang tampak galau. Ia pun mengusap pundak gadis itu. Kisah cinta Sita memang persis seperti dalam novel. "Sabar, Ta."
Sita manggut-manggut. "Gue penasaran deh, gimana caranya lo bisa tiba-tiba deket sama kak Revan? Dia kan terkenal dengan sifat kulkasnya dan gak pernah ada yang berani deketin dia. Auranya terlalu nyeremin menurut gue."
Bunga terkekeh mendengar itu. "Dia gak seram sama sekali. Mungkin cuma pura-pura jadi nyeremin biar gak ada yang deketin," jelasnya seraya mengangkat bahu. Ia tahu Revan sering marah padanya, tapi diluar itu semua hal tentang Revano itu baik dan istimewa.
Sita kembali manggut-manggut. "Lo siap emang nunggu dia bertahun-tahun?"
Bunga mengangguk mantap. "Bahkan untuk seribu tahun pun, aku siap."
Sita berdecak. "Prett!" Ia malah meledek lantaran tak percaya.
"Lah aku serius." Bunga beranjak saat Sita sudah lebih dulu berjalan menuju kasir pembayaran.
"Ayo pulang ah, keburu tutup."
Keduanya berjalan keluar dari sana setelah membayar buku yang mereka beli. Saat berjalan menuju parkiran motor Bunga merogoh ponselnya yang berdering.
Bunga terdiam ditempatnya. Menatap nama yang tertera dilayar ponselnya sebelum mengangkat handphone disamping telinga.
"Halo?"
"Dimana?"
"Aku di Gramedia." Bunga mengernyit heran.
"Gue jemput ya. Papa minta lo datang untuk makan malam di rumah karena hari ini hari ulang tahun almarhum Mama. Lo bisa kan?"