Tiba di rumah megah bernuasa minamalis itu, keheningan menyapa. Tanpa harus bertanya pada pembantu pun Revan sudah tahu pasti Ganta sedang berada di rumah sakit.
Revan langsung mengayun langkah menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Tiba disana ia segera membersihkan diri dan menunaikan ibadah shalat maghrib sebelum akhirnya membaringkan tubuhnya di atas kasur.
Huhh~
Helaan nafas panjang keluar begitu saja ketika matanya terpejam.
Revan ingin melihat keadaan Ravin tapi ia takut jika harus dihadapkan dengan Ganta.
Tangan Revan terulur meraih figura kecil yang berada di atas nakas. Mengusap pelan foto dirinya dan Ravin yang sedang saling merangkul bahu. Tidak ada kebencian Ravin untuk Revan didalam foto itu. Ya, karena saat itu ibu mereka masih ada.
"Maafin gue, Rav. Gue sayang sama lo. Gue sayang banget sama lo tapi gue gak suka perbuatan lo."
Brak!!
Revan terlonjat kaget oleh dobrakan yang dilakukan seseorang pada pintu kamarnya yang tertutup rapat. Detik itu pun Revan beranjak dari posisi tidurnya.
"Papa, gimana keadaan Ravin sekarang?" Pertanyaan cemas terlontar begitu saja.
"Bagus. Kau asik tiduran setelah membuat putraku berada di rumah sakit?" tanya Ganta dengan tatapan tajam.
"Pa--"
"Berani sekali kau memukuli putraku sampai masuk rumah sakit hah?!" Ganta menarik kerah baju milik Revan hingga mata mereka beradu dari jarak yang dekat. "Seharusnya dari dulu aku membuangmu bodoh!!"
Mendengar kalimat itu, Revan menutup matanya sejenak mencoba mengenyahkan sakit yang menusuk ke dadanya. Lantas menjawab, "apa papa tahu apa yang terjadi sebenarnya?"
Revan mengambil ponselnya lalu memperlihatkan foto pembullyan yang dilakukan Ravin namun bukannya terkejut Ganta malah membanting ponsel itu ke lantai hingga retak.
"Lalu apa?"
Revan mengernyit. "Aku hanya mencoba menghentikan perbuatan buruk yang dilakukan Ravin."
"Kamu pikir kamu bisa mendapat pembelaanku setelah mengatakan semua itu?" Ganta menampilkan senyum smirknya. "Dasar anak bodoh! Sialan! Tidak berguna!"
"Aku masih salah?" tanya Revan lirih.
"Ya. Bodoh!"
Plak!
"Papa! Aku juga terluka! Papa gak lihat aku juga dipukul Ravin!" Revan menunjuk pipinya yang membiru dan bahkan Ganta malah memberi tamparan kuat disana.
Luka lama belum sembuh. Tidak bisakah Ganta menyimpan tamparannya nanti?
"Kau ingin aku bersimpati padamu? Jangan harap sialan!" Ganta meraih figura yang tergeletak di atas kasur. Ia memecah kacanya lalu mengambil foto tersebut kemudian ia robek menjadi dua.
Memisahkan si kembar Ravin dan Revan.
"Lihat, ini adalah Ravin. Dia adalah putraku satu-satunya. Dia sangat berharga bagiku dan tak boleh ada siapapun yang melukainya. Termasuk dirimu."
Lalu Ganta memperlihat satu lagi foto ditangan kirinya. "Dan ini hanyalah sampah."
Revan hanya membeku saat Ganta merobek-robek foto masa kecilnya. "Kenapa Papa harus bela Ravin walaupun dia melakukan tindakan yang salah?"
"Dia tidak pernah salah."
"Tindakan dia salah, Pah!" Revan geram. Ganta selalu saja mendukung apapun yang dilakukan Ravin.
"Tutup mulutmu." Ganta memberi peringatan. "Selama Ravin belum sembuh kau tidak boleh keluar kamar dan makan."
Setelah memberikan hukuman keji itu Ganta pergi keluar kamar.
.....
Tiga hari kemudian.
"Cari apa, Den?"
"Aku lapar. Apa ada makanan?"
Mbak Yuni menggeleng. Ia menundukan kepala sedalam-dalamnya karena tak tega melihat wajah pucat anak itu. "Disini ada cctv, Den. Mbak gak bisa beri kamu makanan. Ma-maafin Mbak."
Mendengar itu Revan terdiam. Ini baru tiga hari, tapi Revan tak bisa menahan rasa laparnya apalagi menunggu sampai Ravin benar-benar sembuh.
"Gakpapa, Mbak. Mbak hanya menjalankan tugas yang diberikan Papa." Setelah berucap Revan meninggalkan area dapur dan bertepatan dengan itu ia berpapasan dengan Ravin.
"Ravin, kapan lo sembuh?"
Ravin menghentikan langkahnya kemudian memutar seluruh badannya pada Revan. "Gue juga gak tahu. Lo gak lihat Gip dileher gue masih ada? Kayaknya sih bakalan lama."
Revan hanya menghela lesu.
"Puas lo bikin gue kayak gini?"
Pertanyaan Ravin tak dihubris oleh kembarannya itu. Revan memilih kembali menuju kamarnya.
Yuni yang menyaksikan itu tak mampu menahan air matanya. Sebagai seorang ibu ia tak tega melihat keadaan putra majikannya itu. Namun dirinya hanya babu, tak mampu mengambil peran apa-apa.
....
Lima hari kemudian.
"Tu-Tuan Ganta, sudah lima hari Den Revan belum makan nasi atau apapun. Apa boleh saya berikan sedikit makanan ke kamarnya?" Meski takut Yuni memberanikan diri bertanya pada Ganta. Hatinya tidak tenang karena cemas dengan kondisi anak itu.
Ganta melirik kamar milik Revan sejenak. Tak berapa lama ia mengangguk membuat senyum diwajah Yuni mengembang.
"Te-terimakasih, Tuan."
Dengan langkah semangat Yuni menaiki anak tangga sambil membawa makanan ringan ditangannya. Begitu tiba didepan pintu, Yuni mengetuknya beberapa kali.
"Den... Buka pintunya Den."
Tuk-tuk.
"Den...."
Karena lama tak ada sahutan Yuni langsung menarik knop pintu yang ternyata tak dikunci. Pintu terbuka lebar, namun yang ia lihat anak lelaki tampan itu terkampar dilantai sambil meringkuk.
"Den! Den Revan!!"
Berlari kemudian berusaha membangunkan anak majikannya yang terpejam.
"Tuan!! Tuan Ganta!! Tolong Den Revan pingsan Tuan!!"
Mendengar teriakan membuat fokus Ganta pada layar laptop dihadapannya buyar. Seolah tahu apa yang terjadi Ganta berjalan santai menuju kamar salah satu putranya yang ia sebut sampah.
Dan gilanya, pria itu tersenyum.
.
.
.
.
.