6.

3.5K 133 0
                                    

Motor sport berwarna hitam terparkir disalah satu rumah praktek sederhana. Revan turun dari motornya lalu masuk ke halaman setelah merapikan jumper berwarna cokelat yang ia pakai sore ini.

Beberapa orang yang sudah kenal dengan Revan menyapanya dengan memberi senyuman dan ia melakukan hal yang sama. Revan langsung menuju salah satu ruangan yang memang sering ia kunjungi.

Ceklek.

Revan mendorong pintu pelan. Terlihat seorang wanita berambut lurus sedang menekuni laptopnya di atas meja. Tapi wanita itu langsung menyingkirkan benda itu begitu menyadari kedatangan Revan.

Tina tersenyum hangat ketika Revan mendekat dan duduk dikursi dihadapannya.

"Bagaimana keadaanmu?" tanya Tina tanpa menghilangkan senyum meski menyadari cowok berwajah tampan itu tidak terlihat baik-baik saja.

"Baik."

Respon singkat yang membuat Tina mengangguk paham. "Ceritakan yang terjadi hari ini. Apa kamu ditampar lagi?"

Revan terdiam sejenak. "Dokter Tina pernah bilang kalau aku mabuk-mabukan masalah hidupku malah tambah berat. Sekarang aku udah berhenti mabuk dok. Tapi masalah yang aku terima tetap aja berat. Dokter pembohong."

Dokter Tina membeku merasakan hatinya yang mulai teriris. Bukan, bukan karena dirinya yang disebut pembohong tapi karena ia bisa melihat jelas luka yang Revan tunjukan lewat tatapan matanya.

"Masalah itu bagian dari hidup, Revan. Hanya saja--"

"Aku beneran lelah, Dok. Gimana caranya aku hilangin rasa bersalah ini?"

Kedua tangan Revan mulai mengepal disamping tubuh. Matanya pun terpejam merasakan sesak yang lagi-lagi datang.

Dokter Tina merapatkan bibir mencoba menjadi kuat didepan pasien yang selama bertahun-tahun ia tangani. Dari umur dua belas tahun hingga sekarang Revan adalah pasien istimewanya.

Anak yang tak tahu harus menceritakan sakitnya pada siapa itu akhirnya memilih berlari pada seorang psikiater bernama Tina.

"Apa mereka mengatakannya lagi?"

Revan mengangguk. Matanya menatap hampa pada kaca besar dibelakang Tina. Ucapan Ravin malam itu berputar tanpa henti dikepalanya membuat matanya sedikit berkaca-kaca. "Ravin bertanya apakah aku bisa menghidupkan mama lagi?" Tatapan Revan beralih pada Tina. "Aku harus menjawab apa Dok?"

"Kamu juga tidak ingin kehilangan Ibumu. Pertanyaan Ravin hanya spontan karena dia terlalu merindukan mama kalian," ujar Tina dengan senyum kecil. "Tidak usah terlalu dipikirkan, oke?"

"Dunia ini jahat," gumam Revan setelah menelungkupkan wajahnya pada tumpuan tangan di atas meja. "Aku ini bukan pembunuh, Dok. Bukan...."

Dokter Tina mengangguk kaku bersama tangannya yang mulai mengusap lembut surai hitam milik Revan. Dirinya memiliki anak seumuran Revan namun anaknya sudah lebih dulu menghadap ke sang pencipta. Lalu Tuhan mengirimkan anak ini yang membuat hati Tina tersentuh dan mulai menganggap Revan sebagai anaknya sendiri.

"Dokter sama sekali gak keberatan jika kamu mau menyebut dokter dengan sebutan 'mama'," ucap Tina dengan harapan besar Revan akan menyetujuinya. Walau ia tahu jawabannya adalah 'tidak.'

Tak berapa lama Tina mengernyit saat merasakan sehangat hangat ditelapak tangannya begitu tanpa sengaja tangannya menyentuh kening Revan.

"Kamu demam?"

"...."

"Biar Dokter rawat kamu hari ini."

"Gak usah. Aku udah biasa kayak gini. Aku cuma mau istirahat sebentar." Tina menghiraukan penolakan Revan dan bergegas merawat anak lelaki itu karena demamnya terlalu tinggi.

Lesion (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang