"Gue.... beneran menyesal. Lo bisa kan maafin perbuatan gue waktu itu?"
Bunga bergeming. Matanya jelas menangkap raut penyesalan di wajah cowok yang duduk berhadapan dengannya saat ini.
Bunga tahu, Ravin yang saat ini bicara dengannya bukanlah Ravin yang dulu.
Kakak kelas yang suka menindas, semena-mena, sok berkuasa dan tak pernah ingin kalah. Yang ternyata telah terjerumus dengan barang haram tepat enam bulan lalu. Namun selepas penangkapan itu, Ravin kembali dengan sosok yang lain.
Yang hampir semua orang tak mengenalinya lagi.
Ravin bahkan berdamai dengan saudaranya. Sejak itu, Ravin dan Revan sering terlihat bersama. Bahkan keduanya pernah bermain basket dilapangan yang mana langsung menjadi pembicaraan hangat kaum hawa. Dari itulah ketenaran seorang Revano mengudara di sekolah. Bahkan semua cewek di kelas Bunga sering sekali membicarakan cowok beriris gelap itu.
Revano yang dingin. Revano yang ganteng. Revano yang jarang tersenyum. Revano yang cool. Dan banyak lagi.
Bunga hanya heran. Kenapa mereka malah suka dengan cowok kulkas seperti Revano?
"Bunga."
Panggilan itu menyadarkan Bunga pada kenyataan. Bunga mengerjap-ngerjap. Ia bahkan lupa yang ditanyakan Ravin tadi.
"Lo mau maafin gue?"
Akhirnya Bunga mengangguk. Meski masih punya sedikit rasa kesal ketika teringat kejadian itu, Bunga ingat pesan Ibunya bahwa memaafkan kesalahan oranglain tidak akan membuat kita rugi.
"Thanks." Ravin tersenyum lebar.
"Aku pulang ya, kak. Ini mau malem. Takut mama nyariin." Bunga bangkit dari kursinya, merasa sudah cukup bercakap-cakap.
"Gue antar." Ravin menyambar tangan Bunga begitu saja, membuat Bunga yang tak siap langsung menepisnya kasar.
"Emm, maaf kak, aku pulang sendiri aja naik taksi." Bunga menolak dengan halus.
Ravin sempat terdiam, tak lama kemudiannya dengan ia mengangguk. Ia tak bisa memaksa jika itu mau Bunga. Keduanya pun berjalan keluar cafe setelah Ravin membayar pada kasir.
....
Pukul tujuh lewat sepuluh Ravin tiba di rumahnya. Hendak masuk ke dalam kamar, niat Ravin urung kala melihat pintu kamar adiknya yang berada di ujung baru saja terbuka. Ravin berjalan cepat menghampiri.
"Mau kemana, dek? Udah rapi gini."
Revan mendengus geli mendengar panggilan yang disematkan cowok itu. "Keluar."
"Iya keluar. Tapi kemana?"
"Cafe."
Ravin berdecak. "Lo masih kerja? Gue kan udah bilang lo gak usah kerja di cafe lagi."
"Lo bisa larang gue buat lakuin hal lain tapi nggak dengan ini. Gue tetap harus kerja." Revan berjalan menuju tangga membuat Ravin ikut mengikutinya.
"Yaudah gue ikut."
"Gak. Kalo sampe papa tahu dia bisa marah." Revan terus berjalan sembari melekatkan jaket hitam ditubuhnya yang hanya dibalut kaos.
"Lah, kalo papa tahu lo masih kerja di sana dia juga marah. Bego." Ravin mencibir gemas. Adiknya memang keras kepala.
"Please, lah, gue pengen banget gabung di personil kalian. Buat gue jadi apal lah disana. Jadi patung doang juga gakpapa," lanjutnya memelas.
Tepat dipijakan tangga terakhir, langkah Revan terhenti membuat Ravin ikut-ikutan berhenti. Revan menelisik wajah kembarannya yang terlihat memasang tampang memohon.
