Jangan lupa rekomendasikan cerita ini ke teman-teman kamu yaa.. vote dan komen juga.
....Empat bulan berlalu cepat. Siswa kelas 12 di SMA Binakarya barusaja merayakan kelulusan mereka. Resmi menjadi alumni dan tentunya akan segera berpisah dengan teman-teman sebaya.
Acara perpisahan pun tak luput menjadi momen paling mengharukan bagi mereka. Kini di atas panggung yang menjadi latar utama, telah berdiri pendiri yayasan sekolah yang sedang berpidato, melampirkan wejangan-wejangan. Ini pertama kalinya pria itu memunculkan diri dihadapan seluruh siswa.
Sementara itu, Revan duduk dikursi paling belakang yang mana kehadirannya mungkin tak akan terlihat oleh pria yang diberdiri diatas panggung sana.
Sembari bersedakap dada, Revan tak sekalipun mengalihkan pandangannya dari sosok sang ayah.
Pria itu terlihat gagah dan berwibawa. Juga sehat tentunya.
Revan senang karena masih bisa melihat Ganta walau hanya dari jarak sejauh ini. Meski dalam hati dirinya sangat ingin menerjang pria itu dan mengatakan bahwa ia sedang lelah dengan dunia. Dan ia tidak pernah ingin pergi jauh dari pria itu dan juga Ravin.
Namun, semesta seolah mendukung itu.
Maka, Revan memanfaatkan momen ini dengan baik. Memotret wajah sang papa dalam memory otaknya. Karena mungkin ini akan menjadi kali terakhir ia melihat wajah Ganta.
"Rev."
Revan menoleh, menatap Naufal dengan riuk bertanya.
"Mening kita pergi dari sini," ajak Naufal. Dia merasa yakin cowok itu sedang tidak baik-baik saja.
"Iya. Keknya taman belakang adem." Angga menimpali.
"Kalian pergi aja. Pidato Papa belum selesai," balas Revan sebelum kembali menatap ke depan.
Angga dan Naufal saling bertatapan. Mereka tak habis pikir kenapa cowok itu melakukan hal seperti ini.
"Tapi lo udah diusir sama dia. Lo lupa ya?" Naufal tampak sangat heran.
"Gue gak lupa. Emang kenapa?" Revan menjawab tanpa menatap lawan bicaranya.
"Aneh aja. Kenapa lo masih mau liat wajah Papa lo?"
Sebelum menjawab, Revan menghela nafas samar. "Gue bakal pergi jauh setelah ini. Jadi gue mau puas-puasin liat wajah Papa. Dia orangtua gue kalo lo lupa. Dia orang yang pernah gendong gue waktu kecil."
Untuk kesekian lagi, Naufal baik Angga sama-sama dibuat diam seribu bahasa. Perkataan Revan selalu berhasil membuat hati mereka tertegun dan meringis bersamaan.
Revano mempunyai hati yang lapang setelah banyak mendapat derita. Dan poin pentingnya. Tidak semua orang bisa seperti cowok itu.
Ya, tidak semua orang mempunyai hati seperti Revano.
"Gue belajar banyak hal dari lo," ucap Angga dengan senyum getir.
Revan mengacuhkan ucapan Angga. Ia segera bangkit dan ikut bertepuk tangan dengan siswa lainnya kala Ganta pamit undur diri dari panggung.
Papa, Revan disini.
Suara itu hanya tertelan dalam kerongkongannya kala melihat Ganta berjalan ke arah Ravin yang berada dibarisan paling depan.
"Kita nongkrong ditempat biasa."
Revan mendengus saat sadar badannya telah diseret oleh dua temannya. "Harus banget kalian gandeng tangan gue!" sinisnya.
"Lagian lo anteng banget liat mereka," ujar Angga kesal.
"Mereka keluarga gue."
Angga mendesis. Melepas cowok itu dari seretannya. "Keluarga macam apa yang lo maksud? Keluarga pembawa derita?"