26.

2.6K 102 0
                                    

Bunga tak bisa berhenti memainkan jemarinya. Tatapan gadis itu masih tetap lurus menikmati hamparan laut dari atas sebuah jembatan. Lalu keadaan jantungnya, entah kenapa masih berdetak dengan ritme yang tak biasa. Ia tak tahu kenapa cowok disampingnya meminta mereka untuk turun di atas jembatan, tapi malah berakhir diam-diaman.

Semilir angin tipis terus menerbangkan rambut hingga menerpa wajah cantiknya. Bunga menghembuskan nafas samar. Sedetik kemudian tubuhnya membeku saat merasakan sesuatu menyelimuti bagian punggungnya.

Bunga menunduk, menatap bahunya yang telah diselimuti jaket. Lalu ia mendongak, menatap si pelaku yang sibuk memandang langit.

"Dingin," ucap cowok itu datar.

Bunga menggigit bibir. "Ma-makasih."

Revan mengulum senyum dibibirnya. Sedari tadi, ia menunggu gadis itu bicara lebih dulu namun ternyata Bunga tetap diam. "Ternyata lo banyak berubah."

Dua alis Bunga terangkat. Ekspresi menggemaskan yang tak pernah mau Revan akui.

"Jadi gak banyak bersuara," ucap Revan gamblang.

Bunga mengembungkan pipinya. Tentu ia kesal. "Tapi kakak gak berubah."

"Oh ya?"

Bunga mengangguk cepat. "Tetep aja nyebelin kayak dulu."

Revan tertawa, dan Bunga terpaku. Mungkin ini pertama kalinya Bunga melihat deretan gigi putih cowok itu terpapang jelas disertai ujung mata yang membetuk bulan sabit. Jika saja ada yang lebih indah dari senja, mungkin itu adalah tawanya Revano.

"Aku harap kak Revan terus seperti ini." Bunga berucap dengan spontan. Matanya masih saja terpaku.

"Terus nyebelin maksud lo?" Revan tak paham.

"Bukan." Bunga berdecak. "Maksudnya, aku harap kak Revan bisa tersenyum dan tertawa setiap waktu. Karena itu keliatan lebih baik."

"Gue juga berharap begitu." Revan merapikan rambutnya yang berantakan karena tertiup angin.

"Kak Revan udah pulang dari kemarin?"

"Hm."

"Kak Revan--"

"Lo bisa ilangin embel-embel kakak. Kita udah lulus lima tahun lalu," potong Revan. Begitu pintar menggunakan kata 'lulus' sebagai alasan.

Bunga membulatkan matanya. "Serius?"

Revan menyernyit melihat reaksi Bunga yang berlebihan. "Kapan gue bercanda?"

"Ah ya.... Kamu gak pernah bercanda. Kan si paling serius hehe." Bunga langsung cecengesan. Dan saat itulah Revan sadar bahwa yang dipikirkannya salah. Bunga Anatya sama sekali tak berubah.

"Apa pasien lo gak pernah ngeluh saat ditangani sama lo?"

Bunga mengernyit mendengar pertanyaan yang menjurus pada ejekan itu. "Nggak. Mereka justru senang karena aku ramah. Kalo dokternya kamu otomatis mereka pada lari."

"Kenapa?" Revan jadi penasaran.

"Karena mereka takut liat muka datar kamu. Hahaha!" Tawa Bunga meledak membayangkan hal itu.

Revan berdecak kesal. Namun diam-diam ia menikmati tawa renyah gadis itu. Jujur, Revan merindukannya.

"Aku masih ngerasa ini mimpi karena tiba-tiba aja kamu kembali ke Jakarta dan sekarang ada disamping aku." Bunga tersenyum tipis pada cowok dihadapannya yang memaku.

"Gue juga gak nyangka harus ketemu lo lagi."

Luntur sudah senyum dibibir Bunga. Pasalnya Revan mengatakan hal itu dengan raut wajah yang menderita. "Jadi sebenarnya kamu gak mau ketemu aku?"

Lesion (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang