PROLOG

6.5K 390 26
                                    




Baru pertama kali ini Bathara setuju dengan pendapat Peter Carey. Malioboro bukan tentang papan iklan rokok Malboro yang menjulang di kawasan parkiran Abu Bakar Ali, bukan juga salah satu nama Duke di Inggris, Malborough. Malioboro, sesuai dengan kutipan epos Ramayana, Malyabhara, artinya tempat yang penuh karangan bunga. Dan Malioboro persis dengan apa yang mereka bilang dalam epos itu. Jalanan Malioboro hari ini penuh dengan karangan bunga yang berjejer rapi hingga gerbang alun-alun.

Senyuman tipis itu memudar ketika nanar matanya menembus jalanan yang anehnya lengang. Ia memandangi sisi tempat yang lain. Dari satu bangku kayu, ia membayangkan siluet laki-laki itu. Dimulai dari bahu yang sederhana, hingga dua tangan yang merentang. Lelaki biasa. Namun, dari setiap dekapan miliknya yang merengkuh tubuh kecil ini, setiap usapan lembut pada punggung, dan setiap pertanyaan, "Kamu tahu, kan, Ra? Siapa juaranya?" yang selalu dibalas dengan tawa tertahan karena ia tahu pasti apa jawabannya.

"Jika suatu hari aku pergi, Ra... Aku akan kirim rindu ini melalui beragam isyarat lain."

Bathara memandangi awan yang menggantung di sisi lain langit hari ini. Pukul tiga sore, namun langit telah menggelap. Menampilkan barisan burung-burung kuntul yang terbang berarak. Menjadikan hari ini semakin begitu sukar dilewati. Dua menit kemudian, ia memandangi sisi jalan yang lain itu sekali lagi. Bathara khawatir, jika ia melangkah, jika ia beranjak dari tempat ini, apakah ilusi itu akan tetap hadir dalam benaknya? Atau ia justru akan hilang? Lenyap?

            Hujan. "Hujan?"

Satu kalimat itu keluar beriringan dengan wajah Bathara yang menengadah. Air itu turun serupa jarum. Saat air yang bergerak cepat itu mengenai kulitnya yang pucat, akhirnya ia rasakan sakit yang ingin ia rasakan. Untuk kali ini, bagi Bathara, rasanya hadir di antara rinai hujan jauh lebih baik. Setidaknya rasa menggigil ini menjadi tanda bahwa ia tak mati rasa. Bahwa seluruh kenyataan yang menghantam hidupnya kali ini tak menghapuskan kewarasannya yang masih tersisa. Jadi, ini isyarat yang kamu maksud, Na?

"Tau, Ra? Apa yang lebih indah daripada senja yang tenggelam di Pantai Parangkusumo hari ini? Kamu, lautanku dan aku adalah pantai yang memeluk tiap tepimu dengan erat. Artinya, aku selalu ada di dekatmu. Meski ragaku tak lagi bisa kamu rasa."

"Kenapa kamu suka mengandai andai sesuatu yang tak pasti terjadi, Na?"

"Karena... cuma ini cara yang bisa aku lakukan, biar kamu nggak terlalu sedih nantinya, Ra."

Untuk satu cahaya yang menyusup di antara mendung yang runyam. Bolehkah Bhatara menitipkan satu pesan dan sebait tanya? Pesan yang Bathara harap bisa dibawa melintasi satu pintu ke pintu alam yang lainnya.

Apa masih sakit?

Apa di sana sepi?

Atau, ada satu tempat yang lebih indah sehingga kamu cepat-cepat untuk beranjak pergi?

"Waktu itu, Na, kamu bilang semuanya akan baik-baik saja, tak mengapa. Dan dengan bodohnya, tanpa bertanya lebih lanjut, aku benar-benar percaya." Tapi, kenapa rasanya seolah Bathara kehilangan arah? Kehilangan kompas yang ia pegang erat-erat.

            "Na, bolehkah aku bersedih untuk hari ini?"

            Hujan, Yogyakarta, dan satu perayaan atas bagian hati yang hilang.

---

"Eyang, apa lagu yang kerap Eyang dendangkan setiap sore di Bangsal Srimanganti? Nakula selalu ingin mendengarnya, lagi dan lagi. Namun, sudah seminggu ini Eyang tak bernyanyi." Nakula duduk bersila di lantai, kepalanya ditundukkan. Ia terus menatap rangkaian hitam ubin yang selalu digosok dengan ampas kelapa setiap pagi.

"Lagu itu bagian dari Macapat, Raden. Puisi jawa yang mengisahkan siklus hidup manusia. Sejak masukumambang, saat Raden ada dalam kandungan, hingga pocung, saat kemudian Raden dikafani, dibaringkan, dan ditutup dengan tanah. Macapat adalah siklus perjalanan hidup manusia. Apakah kamu sudah lupa? Eyang akan menyanyikan salah satu Macapat di pesta pertunanganmu nanti, Asmarandhana." Eyang kemudian menjulurkan tangannya, mengelus pelan surai milik Nakula. Nakula hanya menjawab pertanyaan Eyang dengan sebuah gelengan pelan. "Pantas dan wajar, generasi Raden dibesarkan dengan cara yang berbeda. Mungkin, ini bukan menjadi satu hal yang penting di masa Raden. Tapi, setiap lagu yang Eyang dendangkan... ada doa yang menjadi pengharapan." 

"Setiap sore, sejak kakung Raden, Gusti Kanjeng lengser keprabon, Eyang selalu menyanyikan megatruh, Raden. Megatruh artinya, saat ruhmu keluar dari ragamu, dan waktu di dunia ini sudah habis dihitung." Eyang menghela napas pelan. Dengan segenap tenaga yang tersisa, ia menyuruh Nakula untuk bangkit, memintanya untuk duduk bersama di baringannya.

"Lalu, Eyang, kenapa Megatruh? Kenapa cinta digambarkan semengerikan itu, Eyang?"

         "Karena cinta itu hadir hingga raganya terpisah dari ruhnya. Dan, di situlah, kisahnya akan selesai."

       "Nakula juga, Eyang. Kelak akan mencintai pasangan Nakula seperti Eyang. Hingga nanti menutup mata."

            "Meskipun Raden tahu, Raden tak punya pilihan selain jatuh sedalam-dalamnya?"

            "Pilihan Rama, adalah yang terbaik bagi Nakula, Eyang."

            Eyang hanya tersenyum tipis.

        "Dia yang dipilihkan Kanjeng, perlakukan dia dengan baik. Keluarganya berada, tapi mereka tak punya pilihan dan kuasa untuk menolak. Perlakukan dia seperti kusumaning tyas, bunga di hatimu, belahan jiwamu." Eyang memberikan jeda pada ucapannya. "Jagalah dia, Raden... dengan segenap hati. Hingga pada akhir, dan satu-satunya yang bisa Raden lakukan adalah mencoba mengerti."

            Nakula tersenyum simpul. Bersamaan dengan desau angin yang menghalau datangnya dingin, Nakula mulai memejamkan mata. "Hingga mata terpejam, Eyang. Nakula akan menjaganya hingga sisa hidup Nakula."

Gotta Be You - JaemrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang