"Hanya sampai permaisuri mengandung anak laki-laki, Kanjeng Nakula. Hanya sampai saat itu, dan kau bisa menceraikannya."
Kalimat itu seperti genderang perang di telinga Nakula. Bertalu-talu, membayanginya siang dan malam. Seolah hanya kalimat yang diucapkan Pangeran Mangkudipuro itu satu-satunya yang dapat ia dengar belakangan ini.
"Kanjeng bisa kembali bersamanya setelah anak itu menginjak usia dua atau tiga tahun, saya pikir Gusti Bathara pun akan menerima ia sebagai anaknya. Penerus kerajaan ini."
Ini adalah titik terbawah yang pernah Nakula alami. Ia tak mengerti apa yang terjadi hingga akhirnya seperti ini.
"Itulah wujud baktimu pada negara ini. Kanjeng Rama pasti pernah bilang kepadamu. Cintamu, bukan milikmu." Pangeran Mangkudipuro menutup kalimatnya. Mengambil satu rokok lintingan dari kotak, memantiknya.
"Lalu bagaimana aku bisa mengatakannya pada Bathara, Pangeran?" Asap rokok orang di depan Nakula itu membumbung, bergabung bersama desau angin, dan menghilang. "Bagaimana aku bisa menghadapinya? Aku telah berjanji untuk menjadikannya satu-satunya. Sedang yang aku lakukan sekarang...." Sungguh kalimat Nakula berhenti, ia telan bulat-bulat semua kegelisahan yang ada. Bahkan, ia tak lagi mampu mengungkapkan semuanya.
Tembakau yang terbakar itu Pangeran Mangkudikoro sesap sekali lagi, sebelum mematikkannya dengan menekannya keras-keras pada asbak tembikar.
"Perjanjian seperti itu konyol bagi seorang raja, Kanjeng Nakula." Pangeran Mangkudipuro membiarkan pandangannya ada di atas rata-rata air, tepat sejajar dengan mulut. "Kanjeng Nakula hanya perlu menyerahkan segalanya pada hamba. Biar hamba yang atur."
Nakula bergemelut dengan pikirannya sendiri. Bagaimana mungkin orang yang ia hormati bisa mengucapkan perkataan serendah itu? Seolah selama ini Bathara tak ada artinya. Seseorang yang bisa ia hempaskan begitu saja?
"Persetan dengan kewajiban sebagai Raja!" Emosi itu tak bisa terbendung. Runtuh sudah semua dinding kesabaran yang Nakula bangun selama ini.
Selama ini ia terlalu banyak berbuat salah.
"Jangan egois, Kanjeng Nakula. Jangan egois." Pangeran Mangkudipuro memberikan peringatan, suaranya naik satu oktaf.
"Jika seperti itu anggapmu, Pangeran. Lalu katakan padaku apa yang bisa dipegang oleh manusia selain ucapannya?"
Mata yang menggelas milik Nakula akhirnya tumpah. Diiringi dengan permintaan maaf yang diucapkan berkali-kali di dalam hati.
"Bukannya sedari awal memang Kanjeng sendiri yang terus menyakitinya?"
"Apa maksudmu, Pangeran?"
Jika permintaan maaf itu tak cukup diutarakan. Biarkan dia yang memohon. Meskipun itu artinya ia harus mencium kaki Bathara atau menangis darah.
"Sedari awal, semua yang Kanjeng lakukan memang menyakitinya. Lalu apa bedanya dengan sekarang?" Pangeran Mangkudipuro menelungkupkan kedua tangannya. Ia berdiri, mengikis batas yang tercipta dengan Nakula yang duduk di depannya. "Bukan lupa itu hadir untuk alasan tertentu, Kanjeng? Lupa itu akan lama-lama hinggap. Mengikis memori manusia yang pada akhirnya menghabiskan segalanya. Bukankah Kanjeng pernah melakukan itu? Tinggal ulangi. Kanjeng sudah tahu caranya dan bahkan ahli melakukannya."
Pangeran Mangkudipuro meninggalkannya begitu saja, saat pintu tertutup baru seluruh tubuh Nakula luruh. Ia seolah dilucuti, rangkanya kehilangan kekuatan untuk menopang tubuhnya, ia merasa kotor. Tubuhnya bermandikan lumpur yang bernama penyesalan, wajahnya dicoreng dengan arang yang bernama penghianatan. Malam itu, di balik lajur-lajur lorong yang dibatasi oleh sekat-sekat dinding kedaton, semua penyadaran itu hinggap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gotta Be You - Jaemren
RomanceSurat-surat tak pernah diterima, jarak yang membentang, dan seberkas cahaya senja yang rebah di cakrawala. Bagi Bathara, hidup harus berjalan sebagaimana mestinya: meskipun kehilangan orang yang paling dicintai memang tak memiliki penawar. Ia menge...