Kursi yang Kehilangan Satu Kaki

537 115 45
                                    

Seperti kehidupan manusia pada umumnya, ada kali pertama untuk seluruhnya. Kali pertama merangkak, kali pertama kedua kaki lantas kuat untuk menopang beban tubuh dan berjalan, dan pada akhirnya kali pertama merasakan bebas setelah lama terkekang. 

Sejujurnya, ini seperti reda sebelum badai lagi-lagi menghantam. Ini seperti tenang sebelum ribut semakin menjadi. 

Di salah satu rumah di deretan bangunan Mantrigawen, Bathara menghabiskan beberapa harinya untuk berbenah, dan semuanya mengalir begitu saja. Satu rumah yang nampak lebih menjulang di antara rumah yang lain, dengan gebyok baru terukir cerita Ramayana, ada satu kolam dengan pancuran yang bergemericik sepanjang hari, juga satu pohon mangga yang ditanam di halaman belakang. Pada pagi-pagi yang lamat, ia akan menunggu redupnya lintang kemukus, pada alas tikar kayu ia menunggu waktu demi waktu cahaya kekuningan temaram dari ufuk timur membasuh mukanya, memberikan tanda bahwa nadi kehidupan mulai berdenyut.

Tanda bahwa Sang Kuasa memberikan kesempatan lain pada hari-hari lain. Memberikan setidaknya tenang pada riuhnya badai yang mungkin akan menerjang.

Memberikan harapan, sebagai tanda bahwa seburuk apa pun hari belakang, ia masih bisa memulai kembali.

Selalu ada kesempatan baru untuk mereka yang tak pernah berhenti berharap bahwa hidup akan menjadi lebih baik.

Selalu ada kesempatan untuk mereka yang hidup dan memutuskan untuk tetap hidup.

Di pagi ini, Bathara dikejutkan dengan kedatangan seorang tamu juga dengan pertanda buruk yang tersebar di mana-mana. Pagi ini, kicauan burung prenjak membangunkannya. Kicauannya yang berisik menandakan bahwa rumah akan kedatangan tamu. Burung prenjak itu ada di sisi kiri rumah, yang mengisyaratkan tamu itu akan datang dengan kabar buruk. 

Kemarin, harinya juga dipenuhi dengan pertanda buruk. 

Tinta yang ia gunakan untuk menyalin manuskrip tumpah, mengotori seluruh pekerjaan. Saat ia menyingai jantung pisang, jarinya teriris, menimbulkan satu luka panjang yang meskipun tak begitu dalam, sakitnya bukan main. Tengah malam Bathara mendengar ayam jantan yang berkokok. Dalam perjalanan pulang, ia berpapasan dengan kucing hitam. Juga satu cicak mendadak jatuh di pembaringannya. 

Ia mencoba mengacuhkan semua pertanda buruk ini, sebab begitu sibuk Banjar Willapa menyalin semua manuskrip yang baru saja dikirim dari negeri nan jauh. Namun, semua pertanda buruk itu makin terang dengan kedatangan sosok Gusti Ratu. 

Gusti Ratu datang sendiri ke tempatnya, tanpa pengawal, tanpa juga arak-arakan yang mengiringi. Beliau hanya hadir bersama dengan abdi dalem renta yang sedari awal berdiri di belakangnya. Di hadapan mereka, di meja kecil tepat di tengah ruangan, ada dua bungkusan putih yang dilipat rapi.

Tanpa pengawal, tanpa abdi dalem yang mengiringi. Ini berarti bukan sebuah kunjungan resmi, dalam arti lainnya: ada maksud tersembunyi dari kedatangan Gusti Ratu kali ini, hal yang tak boleh semua orang tahu. Kedatangannya serupa sosok candala yang diam-diam akan melancarkan aksinya.* 

"Sebetulnya, ingin Ibu berikan kain ini kepadamu sejak empat tahun yang lalu. Hadiah perkawinanmu." Gusti Ratu membuka satu bungkusan itu, "bagi seorang Ibu, memberikan batik yang mereka tulis sendiri untuk anak-anaknya adalah simbol dan restu agar mereka hidup bahagia. Seperti yang pernah Swargi Eyang bilang, sebaik-baiknya pemberian bukan tentang seberapa banyak hal yang diberi, tapi apa makna yang ada di baliknya. Pada zaman dulu, batik-batik ini akan dipajang di ruang tengah keluarga. Nun berabad-abad yang lalu, bahkan, seorang Ibu yang tak memberikan batik yang ditulis sendiri olehnya merupakan sesuatu yang sangat memalukan.

Tapi, batik tulis ini tak sempat Ibu berikan. Tak pernah ada waktu yang tepat."

Bathara memandangi kain yang dilukis dengan malam di hadapannya, satu motif sidomukti dan sekar jagat ada di hadapannya.

Gotta Be You - JaemrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang