Tidakkah Hidup Jauh Lebih Mudah?

601 129 49
                                    

"Lalu, sebenarnya kapan bahagia dapat diraih?"


Suara dari surau menggema dari kejauhan, memasuki lorong dan juga telinga tiap-tiap manusia yang masih terbaring. Dari arah utara, angin menuruni lereng, membawa udara hangat yang telah disentuh cahaya matahari. Pagi itu juga, Bathara melihat bayangannya pada cermin. Kedua alisnya yang rapi, juga wajahnya yang layaknya boneka porselen. Kulitnya yang putih pucat serupa dengan dinding di belakangnya. Ia mengambil napas. Melepaskannya bersamaan dengan seluruh beban yang menggantung di punggung.

Ini yang ia nanti selama ini. Apapun yang terbilang, tak pernah ada yang menggantikan perasaan ini. Selama ini, tidurnya tak pernah nyenyak. Namun, malam tadi, ia tertidur pulas. Mimpi buruk tak lagi menyambangi. 

Karena kali ini, Bathara memilih menyerah dibandingkan terus-terusan menjadi yang terus berusaha.

Pernah membayangkan jika ia tidak menyerah?

Membayangkan bahwa lebih baik menggenggam semuanya dengan erat dibanding melepaskannya?

Bathara pernah, banyak-banyak.

Setelah Nakula kembali, ia kira penantiannya telah usai, membayangkan pada satu waktu ia akan hidup bahagia, dengan Nakula di sisi. Membayangkan bahwa Nakula akan ingat segalanya tentangnya. Mereka akan mereka ulang semua yang pernah dilewati bersama. Menebus empat tahun yang dilewati percuma. Semuanya akan baik-baik saja.

 Karena di semua pahit dunia, setidaknya Nakula bisa jadi pelabuhan tempatnya berlabuh. Bisa jadi mercusuar sebagai penunjuk jalan jika perahunya tersesat. Juga oase ketika padang gersang, dan ia penjelajah yang mencari sumber air. Setidaknya, beban itu tidak ia tanggung sendiri. Ada bahu, yang tanpa harus bertanya, dengan suka hati mau berbagi beban itu bersamanya. 

Namun, bagaimana jika Nakula betah dengan lupanya? Bagaimana jika Nakula tak akan pernah mengingatnya? Bagaimana jika masa yang ia bayangkan tak pernah datang. 

Lalu, sejauh mana ia harus menunggu?

Setahun? Dua tahun? Seribu tahun?

Tak ada jaminan bagi semuanya. 

Karena mungkin bisa jadi Nakula tidak pernah ingat. Dan, Bathara enggan untuk menggenggam ketidakpastian. Bahkan, jika Nakula mengingat segalanya, benarkah rasa untuknya masih sama? Jika mereka menikah, benarkah segalanya sesuatu akan berjalan seperti linimasa yang ia rancang?

Belum tentu. 

Jelas, Bathara mengenggam ketidakpastian. Ketidakpastian yang selalu ia semogakan. Yang selalu ia sombongkan bahwa semuanya akan baik-baik saja pada waktunya. Akal-akalan tak sehat yang selalu ia putar sebelum tidur. Seperti pepatah semua umat manusia yang saat ini menurutnya terdengar sangat hiprokit: "Semuanya ada waktunya". 

Lalu bagaimana jika sebelum waktu itu tiba, waktu miliknya sudah lebih dulu habis? Maukah ia selamanya bergerak di satu tempat, begini-begini saja? Apakah selamanya mau ia habiskan untuk menunggu Nakula? Menunggu seseorang yang bahkan tak mengingatnya? 

Lalu untuk apa ia melakukan hal yang sia-sia?

Bisa jadi, ia dan Nakula memang tidak ditakdirkan bersama.

Mungkin juga di satu waktu, Nakula menemukan seseorang yang baik. Menerima segala lebih dan kurangnya, dan Nakula akan bersamanya tanpa ada paksaan. "Semua ada waktunya" tak pernah menjamin bahwa apa yang diinginkan akan menjadi miliknya. Mungkin saja, memang segalanya tak bisa didapatkan manusia. Mungkin ini semua sudah menjadi porsinya. Manusia hidup tidak boleh serakah, bukan? 

Gotta Be You - JaemrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang