Surakarta selalu mengingatkan Bathara tentang Ibu.Lantas jika diberi pertanyaan: apa yang berubah dari Solo? Bathara akan menjawab seperti ini.
Ruas jalan di Solo masih relatif sempit, hanya muat dua hingga tiga kendaraan mobil yang berjejer. Sedang jalur-jalur non ateri lain menyebar melewati gang-gang juga belokan kecil. Pura Mangkunegaran masih berdiri menjulang, bercat biru dan putih, dan dilingkupi oleh benteng-benteng tinggi dan ukiran elegan. Ramai Pasar Gede juga masih sama, masih seperti dekade yang lalu. Rasa soto di dekat Pasar Triwindu juga masih sama, dihidangkan dengan teh dalam poci yang menguarkan aroma khas dan kudapan beraneka ragam sebagai pelengkap.
Lalu, apa yang berbeda?
Ada satu.
Surakarta tak sama semenjak Ibu pergi.
Mobil ini dikendarai pelan, menembus teduhnya pohon beringin yang membayangi gerbang alun-alun bagian utara, bertemu dengan kemacetan yang tiada henti di daerah Supit Urang. Matahari ada di puncak, bergulir rendah dan mulai menghilang di balik atap usang Pasar Klewer. Langit sedang labil-labilnya, sebentar biru, lain waktu abu-abu, hitam, kadang-kadang pula berubah menjadi oranye atau lembayung.
Pagi tadi, dengan cukup tergesa, Nakula bilang akan membawanya ke Solo.
"Kita sudah akan ketinggalan kereta kalau kamu lanjut tidur sepuluh menit lagi." Anehnya, Nakula selalu membangunkannya seperti itu. Lembut, pelan, dan perlahan. Jika ditanya perihal kenapa begitu, Nakula akan segera bilang: "Aku meniupkan doa untukmu, agar senang selalu menyertai langkahmu. Mana cocok kalau aku berdoa sambil marah-marah? Lagipula, nggak masalah kalau terlambat. Lebih masalah jika kamu kurang tidur, Bathara."
"Kita sudah sampai." Rumah itu yang akan mereka tinggali selama tiga hari. Satu ndalem yang ada di daerah Gajahan. "Turun yuk, Ra? Biar barang-barangmu nanti aku yang bawa."
Bathara menapaki ubin marmer putih yang ada di pendapa depan. Suara gemericik dari kolam samping terdengar begitu riuh, sedang di belakang belasan anak-anak memadati satu tanah lapang untuk bermain. Gelap memayungi langit, tak membiarkan cahaya menyusup dari kolom-kolom awan. Mungkin sebentar lagi akan hujan, dan anak-anak itu, mungkin berlarian untuk berlindung atau justru memilih bermain bersama rinai hujan yang sepertinya akan lebat.
"Na, ini rumah siapa?"
"Keluarga. Ini rumah keluarga kalau kami sedang berkunjung ke Surakarta. Kota ini dulunya juga bagian yang sama dengan kota kita, Ra. Banyak saudaraku yang tinggal di sini." Nakula masih membereskan koper-koper mereka di salah satu ruang, ada beberapa abdi yang hendak membantunya menata, tetapi ia tolak halus. "Sekitar sini ada sup bunga matahari yang enak, tinggal jalan. Kamu belum makan, kan?"
"Kamu juga." Jawaban Bathara barusan sarkastik, "Kita bisa pergi sebentar lagi. Mau rebahan dulu. Kamu banguninnya kepagian."
"Aku bungkus aja, mau ya?"
"Mau ikut," ucap Bathara, sayang sekali jika ia tak bepergian. Tapi rasa hatinya berat, tak kunjung reda. Ia hanya ingin memejamkan matanya untuk sebentar. "tapi sebentar, mau tidur lima menit."
"Makan dulu, Ra. Aku ambilin ya? Orang rumah tadi juga udah siapin, kok."
"Lima menit, Naaa."
Nakula hanya menghela napas, dari arlojinya ini sudah lebih dari pukul satu siang. Mereka tak akan dapat sup bunga matahari itu jika terlalu sore. Juga di luar mungkin sebentar lagi hujan. Mendung menggantung dengan alot di atas sana. Sedang ia lihat Bathara sedang nyenyak-nyenyaknya, ditambah suara dengkurannya yang teratur.
Ia berjalan ke arah dapur, menyeduh satu kopi tanpa gula. Sedang sepertinya hujan mulai turun dengan lebat. Dicampur angin yang membuat dedaunan bergerisik. Juga pompa air kolam yang tiba-tiba menderu. Mungkin ini juga isyarat bagi Bathara agar tertidur lebih lama. Seperti lullaby yang membawa melodi alam untuk tidur lebih lama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gotta Be You - Jaemren
RomansaSurat-surat tak pernah diterima, jarak yang membentang, dan seberkas cahaya senja yang rebah di cakrawala. Bagi Bathara, hidup harus berjalan sebagaimana mestinya: meskipun kehilangan orang yang paling dicintai memang tak memiliki penawar. Ia menge...