Aku percaya dengan kehidupan sebelumnya, kehidupan sebelum kehidupanku yang sekarang.
Mungkin aku pernah jadi satu dari jutaan salju pertama yang turun di Seattle, atau bunga lili dalam vas yang sudah dua hari tak diganti, bisa juga adonan kukis natal yang diambil sebelum matang, bercampur dengan amis telur mentah, rasa tepung yang langu, dan kepingan coklat murah yang dicairkan.
Aku memikirkan hal yang indah, sebab aku tahu kenyataannya: aku pernah menjadi seseorang yang mencintai sebegitu dalamnya, dikecewakan, dan memilih pergi–meninggalkan segalanya di belakang sebelum mendengarkan.
Aku mengingat kehidupan saat itu dengan jelas. Semuanya seperti mimpi, ketika aku menutup mata, ia akan datang, lalu aku akan terbangun dengan mata basah.
"Kenapa?"
Tuhan, ternyata di kehidupan ini kau lagi-lagi mempertemukan diriku dengan dirinya.
"Kamu kenapa, Sayang? Ambil baju hangatmu, tutup pintunya, forecasting agency bilang kalau hari ini suhu turun di bawah minus lima."
Seseorang dengan senyum yang sama, bahu kokoh yang sama, juga rengkuh yang sama.
"Kok bengong? Kamu kenapa? Eh tau nggak, Yang, Valdi bilang kalau cutiku di-acc. Kamu udah izin rumah sakit, belum? Tahun lalu kita nggak jadi pulang natal dan Ibu bener-bener sedih. Maybe we could make it up this year." Ia mengangsurkan segelas jahe hangat kepadaku. Tanpa ia sadari, kedua tangannya menggiringku masuk. Menuntunku dengan pelan-pelan. Kemudian membersihkan butiran salju yang menempel di rambutku. Mendudukanku di dekat fireplaces agar hangat melingkupi diriku yang sebentar lagi mungkin akan mati membeku.
"Biar aku tebak kamu kenapa... "
Kamu tahu, Na? Selain namamu, ada banyak hal yang menjadikanku yakin bahwa di kehidupan ini kamu adalah dia. Mulai dari ekspresimu saat berpikir, ujung mata yang menyipit, dahimu berkerut, dan bibir yang mengerucut. Semuanya sama.
Aku membalasnya dengan senyuman, sembari bersembunyi pada kerah turtleneck yang molor.
"Buku yang kamu tulis? Terakhir kamu bilang sisa beberapa chapter lagi sebelum akhir."
Akhirnya satu-satunya isyarat yang aku sampaikan selain mengangguk. "Aku tulis bagian terakhirnya pagi tadi. Sepulang jaga malam, dan susah tidurku melanda." Aku memberikan jeda dengan meneguk jahe yang terasa pedas di tenggorokan, "mungkin paragraf terakhir yang paling sukar aku tulis selama ini. Aku potong, aku tambah, lalu aku pikir mereka punya kesempatan lain, atau memang seharusnya aku tulis sesuai dengan rencana awal?" Sesungguhnya, kisah mereka, sejujur-jujurnya.
"Lalu, apa yang kamu pilih?"
"Tokoh utama pergi, jelas. Mungkin itu keputusan yang paling berat yang pernah ia lakukan. Sedangkan yang lain, orang-orang mengenangnya sebagai raja paling kesepian." Napasku tercekat ketika kata terakhir itu kuucapkan. Kesepian. Nakula kesepian. "Kesepian hingga akhir hidupnya."
"Aku teringat sesuatu..." Ia mengambil dua buku besar yang tersimpan pada rak, ia letakkan catatan kecil yang dialasi karton tipis. "Ini kliping yang aku temukan dua hari yang lalu, jatuh dari jurnalmu. Raja Nakula dan gelarnya tertulis di situ, kamu nggak bilang kalau punya foto ini?"
Kertas itu usang. Terlihat satu foto dari sebuah lukisan minyak. Kulihat lelaki itu sendirian, duduk dinaungan payung bawat dengan daun tal yang dianyam. Ada tulisan besar dengan gurat-gurat rapuh granit, 'Tahta Untuk Rakyat' disertai dengan tahun yang tertulis. Sudah cukup lama, terlampau jauh.
"Foto ini... bukan punyaku, Na."
"Lalu punya siapa? Aku pikir kamu luar biasa, Ra. Ini satu-satunya lukisan yang tersisa, sebelum Raja Nakula sendiri memutuskan untuk menghapuskan dirinya dari sejarah. Menghancurkan semua lukisan dirinya, kecuali lukisan ini. Lukisan itu ditinggal di keputran. Di satu tempat yang bahkan konon katanya tak pernah ada lagi yang menempati meskipun telah lama berselang. Tempat pembaringan terakhir Raja Nakula setelah dua puluh tahun bertahta. Aku bahkan nggak pernah dibolehkan masuk ke tempat itu. Penuh kutukan katanya. Seluruh keturunan keraton dilarang untuk masuk ke tempat itu, jika tak ingin cintanya berakhir tragis."
Ia bercerita dengan antusias. "Tapi sayang," Ia menunjuk bagian wajah yang ditutupi oleh topeng di potret itu. "Kenapa ia memilih selamanya menyembunyikan wajahnya? Topeng itu?" Dalam lukisan itu, tampak sang raja dengan topeng emas yang menyisakan bagian mulutnya terlihat. "Orang-orang bilang ia rupawan, lalu timbul rumor yang bilang ia melukai wajahnya sendiri sebagai rasa bersalahnya terhadap seseorang."
Aku mengangguk, aku pernah mendengar cerita itu dua tahun yang lalu.
Sumber timbulnya rasa penyesalan yang begitu dalam.
"Aku ceritakan kembali hidupnya, Na. Sejarah mereka, dari yang tak tertulis atau tersimpan dalam kepingan arsip yang tercerai burai. Aku harap ini bisa meluruskan miskonsepsi mereka."
"Aku bersyukur kamu menuturkan kembali cerita ini, Ra. Bersyukur karena kamu mau mengenang kakek dari kakekku yang bahkan hampir dilupakan sejarah... dan lewat cerita ini, aku ketemu sama kamu." Tawa hangat itu menggema di ruang. Tawa itu selesai dan digantikan dengan dekapan hangat. Ulasan jari-jarinya menelusup di belakang kepalaku. "Aku selalu bertanya-tanya, kenapa Ibu menamaiku dengan nama yang sama dengan raja yang kesepian itu... tapi, Ibu bilang, bahwa sebenarnya Raja Nakula tak pernah kesepian. Diceritakan dari sejarah tutur, ada satu orang yang selalu ia amati keberadaanya."
Aku tak pernah mendengar cerita ini.
"Dia menunggu seseorang. Sudah ada orang di hatinya. Terisi cinta yang begitu dalam, Ra. Hingga semuanya terasa cukup tanpa harus memiliki. Dan Ibu memintaku melakukan hal itu. Raja Nakula meskipun dianggap sebagai yang paling kesepian karena tak pernah menikah maupun memiliki keturunan dan memilih memberikan tahta pada anak saudaranya, dia satu-satunya raja dengan perasaan cinta yang begitu nyata. Bukan lagi politik, bukan lagi kekayaan. Ia mencintai orang itu dengan tulus, hingga rasa sayang itu berarti harus memberikan kebebasan untuk orang yang dicintai."
Waktu bergulir dan aku seperti dihitung mundur.
"Ia hanya tak ingin memaksa pasangannya untuk memikul beban pasangan seorang raja dan segala tuntutannya. Rasa cintanya adalah kekangan bagi pasangannya, kebebasan tak pernah ditawarkan kepada pasangan Raja."
Aku merasakan air mataku mengalir, menjalari bagian pipi dan napas yang menderu, hangat. Tenang itu memasuki tubuh ketika ia mengeratkan pelukannya. Isak itu sesekali lolos.
"Setelah ia turun dari tahta, ia pergi. Ada satu rumah yang ia bangun di bekas mercusuar di daerah selatan, ia menepi. Membiarkan dirinya dilingkupi sepi. Aku pernah bertanya perihal ini pada Ibu, dan dari catatan yang ia tinggalkan, ia hanya ingin hari-harinya dipenuhi dengan memandang rumah-rumah ikan, matahari yang tenggelam, dan menunjuk rasi bintang yang paling terang. Hal yang digemari pasangannya dulu. Baru ia pindah di salah satu kamar di keputran. Sampai pada akhir masanya."
Perasaan itu berdatangan sekaligus. Aku merasakan ia bergerak tidak nyaman karena posisi kami, tapi enggan untuk berpindah. Kemungkinan kakinya kesemutan atau ada perasaan menggebu karena ini hari untuk menonton pertandingan softball favoritnya dan ini telah lewat tiga puluh menit. Dari penciumanku, aku merasakan aroma melati samar-samar tercium.
"Setiap mengingat ceritanya, aku dadaku sakit, Ra."
Aku merasakan ia mengecup pucuk kepalaku.
"Jangan nangis, kamu pasangannya Nakula di masa ini, kok. Aku bukan raja, aku juga nggak akan naik tahta, mustahil juga. Aku ada di sini, sama kamu." Aku rasakan suaranya diambil, dari dadanya suara itu beresonansi dan bergemuruh, menyalurkan kehangatan yang berbanding terbalik dengan badai salju yang baru saja turun. "Di cerita ini, kita ditakdirkan bersama, Ra."
KAMU SEDANG MEMBACA
Gotta Be You - Jaemren
RomanceSurat-surat tak pernah diterima, jarak yang membentang, dan seberkas cahaya senja yang rebah di cakrawala. Bagi Bathara, hidup harus berjalan sebagaimana mestinya: meskipun kehilangan orang yang paling dicintai memang tak memiliki penawar. Ia menge...