Aku menemukan setumpuk brosur di meja kerja Helio. Beberapa terlipat, beberapa yang lain dipenuhi dengan lingkaran-lingkaran berwarna merah. Di atas sana tertulis angka satu hingga sepuluh, jejeran rumah sakit yang letaknya terpencar antara Mexico dan Columbia, sel-sel telur terbaik, sperma yang dibekukan, dan daftar panjang nama-nama perempuan yang kemungkinan besar akan menjadi pembawa buah hatinya nanti.
'Find Your Perfect, Start Your Family' begitulah yang tertulis di bagian atas brosur itu. Cari kesempurnaanmu, mulai keluargamu.
Anak-anak yang akan melengkapi keluargamu. Membuatnya merasa utuh.
Dan aku masih mengira-ngira, apakah benar aku membutuhkan anak untuk merasa sempurna? Ataukah dalam cerita ini, memang aku saja yang egois?
"Cita-citaku sederhana." Helio memandang lampu jalanan yang menyala seiring dengan langkah mereka berdua menuju asrama, "Jadi seorang ayah?" ucap Helio sembari mengeratkan kedua tangannya, menggosok satu sama lain, menyalurkan kehangatan di antara salju yang turun.
Waktu itu, dengan naaifnya, aku hanya mengaminkan.
"Pasti saat itu akan jadi waktu-waktu yang membahagiakan buatku. Sempurna." ucap Helio sekali lagi, dari sorot matanya, aku melihat beberapa pendaran lampu natal yang mulai hadir meskipun ini baru pertengahan Desember.
Aku percaya, pada suatu saat entah lima atau enam tahun lagi, dirinya akan menjadi seorang ayah yang hebat. Ayah dari anak-anak yang menggemaskan, dan penuh dengan kasih. Ia akan punya seorang istri yang cantik, dan mereka akan tumbuh dalam suatu rumah yang berdindingkan cinta. Seperti dongeng-dongeng rekaan manusia lainnya, mereka hidup bahagia. Masa tuanya akan ia habiskan di salah satu pemukiman paling lengang, menunggu anak-anak mereka melambaikan tangan di jam-jam waktu kepulangan kantor. Hidup bahagia, seperti standar orang pada umumnya.
Seperti sempurna yang kamu idam-idamkan. Dan aku, aku bukan bagian dari kesempurnaan itu. Tubuhku penuh cela, bagai retakkan, aku hanya menghitung waktu mundur sebelum semuanya patah. Andai saja bukan aku. Harusnya semua ini mudah saja jika memang ibu pengganti menjadi satu-satunya solusi. Tapi, seperti yang aku bilang pada Nakula saat itu, aku hanya tak ingin hidup dipenuhi dengan ekspektasi.
Karena kami pasangan alien. Mendambakan hidup lepas dari belenggu tuntutan masyarakat yang terkadang menyesakkan.
Aku takut.
Aku hanya takut, jika anak-anakku tumbuh besar nanti, aku tak bisa memberikan kasih sayang yang sempurna. Aku tak bisa menyingkirkan egoku untuk kebahagiaan mereka. Terjaga semalaman ketika mereka sedang sakit, juga dengan siap sedia sebagai sandaran ketika dunia membuatnya luka. Aku hanya tak bisa untuk meyakinkan bahwa masa kecil mereka akan indah, pun dengan melepaskan mereka ketika beranjak dewasa nanti. Katakan padaku bahwa tak ada orang tua yang sempurna, tapi aku ingin menjadi orang tua itu. Orang tua yang membuat anaknya merasakan rumah dan pulang, membuat mereka merasakan apa senyatanya arti tenang.
Seperti apa yang bapak dan ibu berikan kepadaku. Ibu yang waktunya berhenti dekade yang lalu, dan bapak yang kini menua sendirian. Aku hanya ingin bahwa kelak anak-anakku nanti akan merasakan bagaimana mereka dimanusiakan. Dan bukan hanya sekadar bagian dari ego orang tua untuk membungkam mulut dunia yang terkadang terlalu ribut. Aku tak mau anakku hanya menjadi ajang coba-coba.
Bukannya lebih baik kita menutup telinga dengan kedua tangan kita, dibandingkan harus satu-satu menutup orang yang tak henti bicara.
With all of this luggage that I brought, I think I'm not ready yet.
Mestinya begitu. Mestinya sejak Helio berkata bahwa dirinya menaruh rasa, aku tidak semudah itu untuk menerima. Tapi selama ini tak pernah ada yang mengajariku bagaimana cara untuk menghentikan perasaan yang mereka sebut dengan cinta?
KAMU SEDANG MEMBACA
Gotta Be You - Jaemren
RomanceSurat-surat tak pernah diterima, jarak yang membentang, dan seberkas cahaya senja yang rebah di cakrawala. Bagi Bathara, hidup harus berjalan sebagaimana mestinya: meskipun kehilangan orang yang paling dicintai memang tak memiliki penawar. Ia menge...