Plengkung Wijilan

669 112 26
                                    

Bathara menyaksikan matahari tenggelam dari titik atas Plengkung Tarunasura*. Melihat barisan burung-burung yang kembali ke sarang, dan juga mendengar alun-alun yang mulai penuh dengan suara--suara pedagang yang mulai mengerubung, pikuk pengunjung yang mengisi lapak-lapak penjual, dan beberapa yang lain sekadar duduk di tepi lapang, ditambah dengan deru kendaraan yang membawa mereka pulang. Nakula menyempatkan untuk turun, memarkirkan mobilnya di samping jalan, kemudian berkunjung ke salah satu warung gudeg yang masih buka.

"Untuk Simbok di rumah," ucapnya ketika Bathara bertanya untuk apa mereka membungkus makanan ini.

Zaman dulu, Kanjeng Swargi Raja Ketujuh banyak membangun pabrik-pabrik gula, ada tujuh belas jumlahnya. Hal itu yang membuat tanah ini menjadi kaya raya, dan mungkin juga membuat masyarakat Jogja gemar makan makanan yang manis, memperkaya penguasa pada masa itu. Kanjeng Swargi membangun Madukismo, dulu disebut dengan Sewugalur, membuat jalur-jalur kereta, dan juga lori-lori untuk mengangkut tebu. Bathara kembali mengingat ucapan Nakula saat dirinya mengomentari bagaimana cita rasa makanan Jogja yang cenderung sangat manis.

Mobil ini kembali melaju, alunan Snow Patrol mengisi hening yang hadir.

"Kamu masih suka Snow Patrol, Ra?" Nakula sesekali mencuri pandang, matanya terus beralih antara jalanan yang dipadati dengan sepeda kayuh dengan lampu warna warni, dan juga beberapa pengendara motor.

"Aku masih dengerin Chasing Car, Na."

"Persis waktu kita pergi ke Bukit Bintang? Snow Patrol bisa kena amandel karena kamu paksa dia nyanyi lima belas kali repetisi tanpa henti."

"Tapi kalo nonton langsung aku bisa ngantuk, sih. Inget waktu kita pergi ke Java Jazz itu, nggak? Kamu kira aku suka jazz, padahal enggak. Dan aku kira kamu suka jazz, padahal kamu juga nggak suka. Akhirnya kita ngantuk-ngantukan di sana. Mending tiketnya dulu kita pakai buat beli penyetan!" Bathara tertawa sekilas, "Nak, mampir beli ronde dulu, yuk."

"Mau jalan kaki aja, Ra? Kita bisa minta abdi dalem di depan buat bawa mobilnya."

"Boleh?"

"Hm," Nakula mengangguk, segera memanuver mobilnya menuju bagian samping istana. Beberapa abdi dalem membuka gerbang pintu. "Kita bisa jalan, kamu nggak capek, kan, Ra?"

Bathara lantas turun, menyusuri bagian samping istana. Ia memilih satu tempat yang menjual wedhang rondhe. Khusus untuk Bathara, dengan banyak kacang dan juga kolang-kaling. Sedangkan untuk Nakula, ia memilih untuk membeli beberapa potong es goreng sebelum dinikmati bersama di salah satu sisi tanah lapang di alun-alun selatan.

"Lho, Raden Nakula, tha? Lenggah teng riki, Den." (Duduk di sini, Raden)

"Nggih, Mas." Nakula memberikan senyum tipis, sebelum beberapa warga yang lain ikut berkerumun.

"Den, itu lho, dekat jagang banyak timbunan sampah. Juga ditambah makin lama di sini makin banyak pungli." Lelaki itu, setelah menaruh minuman yang dipesan Bathara, justru ikut bergabung dan duduk. "Kasihan juga sekarang becak-becak di wilayah Benteng Vredeburg juga mulai sepi penumpang. Kasihan bapak saya, Den. Mulai diganti sama ojek online."

"Lha pripun, tha, Mas?(lalu bagaimana, Mas?)" Nakula mendengarkan dengan asertif. Bathara menyimak perlahan. "Bukanya setiap Minggu sudah ada yang ditugasken untuk membersihkan parit-parit itu, lha kok masih banyak sampahnya?"

Percakapan itu bergulir cukup lama, tak hanya lelaki yang berjualan ronde itu yang bercerita, juga beberapa pedagang yang lain ikut bergabung. Mulai dari penjaja mainan anak hingga juru parkir, semua memiliki keluh kesahnya masing-masing.

"Masyarakat punya ekspektasinya sendiri, Ra. Mereka pikir kami, orang yang dibesarkan dari istana bisa menyelesaikan semua urusan mereka. Seolah kami punya kekuatan gaib yang bisa membereskan semua, segala masalah." Nakula berbisik kepada Bathara ketika obrolan itu hanya bersisa beberapa orang saja, "orang-orang istana dianggap sebagai panutan semua orang."

Gotta Be You - JaemrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang