Waktu berjalan dengan Beberapa minggu ini Bathara disibukkan dengan persiapan perkawinan. Mulai dari ikut melihat persiapan diangkutnya janur-janur yang akan digunakan untuk membuat ragam hias, persiapan upacara siraman, dengan mengambil air dari berbagai sumber, juga dengan beberapa bergada yang sudah memulai sesi latihan mereka. Lebih dari dua puluh enam kuda juga mulai dipasangkan untuk menarik kereta. Sedangkan bagi dirinya sendiri, semakin hari semakin banyak mata yang mengawasi. Setiap gerak gerik, setiap ucapan, hingga lenguhan kecil yang dirasa karena penat yang mendera. Dirinya seolah berjalan pada pinggir tebing yang curam. Semuanya dilakukan dengan hati-hati, penuh perhitungan.
"Raden Mas Nakula akan pergi ke Jakarta, Den. Raden akan mengunjungi Gusti Kanjeng Ratu Dwimurti, yang kini bertempat tinggal di Jakarta. Semestinya Gusti Ratu Dwimurti yang seharusnya datang. Tapi karena masalah kesehatan, Raden Nakula sendiri yang akan mengunjungi beliau di kediamannya untuk menerima restu." Abdi dalem itu menata beberapa bunga ke dalam dalam tempayan, kemudian meletakkannya tepat di hadapan Bathara, "Bunga kenanga, kemuning, dan melati ini dipetik sendiri oleh Raden Nakula, untuk Den Bathara mandi."
Bathara hanya mengangguk, ada perasaan sedikit mengganjal terbit di hatinya. Hari ini, tepat sepuluh hari sebelum hari perkawinan yang ditetapkan setelah perhitungan yang panjang. Semuanya perlahan-lahan mendekati bentuknya. Pesta perkawinan ini lambat laun mulai terasa mendebarkan.
Menghitung hari di mana ia dan Nakula akan mengucap janji satu sama lain untuk selamanya. Hingga ajal menjemput.
—
Satu ketukan muncul terdengar dari jendela. Satu ketukan itu berubah menjadi tiga, tujuh, dan sepuluh kali dan jika dibiarkan terlalu lama bisa jadi membangunkan seluruh penghuni bangsal. Bathara membuka jendela dengan was-was, dan terkejut mendapati fakta bahwa Nakula yang berdiri di sebaliknya, dengan senyuman tipis yang terlukis cantik di wajah.
"Na, kamu ganggu banget malam-malam."
"Aku tau kamu nggak bisa tidur, Ra." Nakula mengulurkan tangan yang tersembunyi dari belakang tubuhnya sedari tadi, menggengam satu kantong aroma. "Ini biar kamu nyenyak tidurnya."
"Ini?" Bathara mencium bau menyengat yang keluar dari kantong wewangian itu, "Ini mah, mirip sama yang dibuat Simbok biasanya, Na."
"Beda, karena itu aku sendiri yang buat." Nakula kemudian tertawa renyah, "Aku mau pamit."
Istana kini melewati masa-masa musim penghujannya, menyambut keringnya bulan April. Semerbak bau buah kepel yang sedang bermusim dan mengeluarkan bau wangi khas menguar di berbagai arah. Dahulu, pohon ini hanya boleh di tanam di lingkungan Keraton. Hanya para anak-anak raja yang boleh mengonsumsinya.
Bathara menatap netra Nakula lamat-lamat, tatapan yang sama lembutnya dengan sebelumnya.
"Pamit untuk?"
Nakula membeku atas pertanyaan yang dilontarkan Bathara barusan.
"Untuk ke rumah Eyang, atau untuk ikut rombongan kampus demo, Na?"
Pohon Kepel lambat laun ditanam di luar keraton. Membuat masyarakat sekitar merasakan manfaatnya. Daging buahnya mereka olah hingga menjadi pelancar kencing, sedangkan kayunya mereka gunakan sebagai pilar-pilar atau perabot rumah, dan daunnya mereka rebus untuk para lansia.
Tubuh Nakula berdesir, seolah darah berhenti untuk beredar dalam sekejap. Kedua mulutnya terlalu kaku untuk menjawab pertanyaan barusan, ia tak mengira bahwa Bathara akan mengetahui semuanya.
"Lalu, kalau aku jadi salah satunya yang berangkat. Apa tanggapanmu, Ra?"
Jelas ini hal Bathara kira akan keluar dari kedua mulut Nakula. "Tapi aku rasa Rama ndak akan mengijinkan kamu, Nakula." Bathara menatap tajam pada kedua netra milik Nakula, "Rama tahu semuanya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Gotta Be You - Jaemren
RomanceSurat-surat tak pernah diterima, jarak yang membentang, dan seberkas cahaya senja yang rebah di cakrawala. Bagi Bathara, hidup harus berjalan sebagaimana mestinya: meskipun kehilangan orang yang paling dicintai memang tak memiliki penawar. Ia menge...