AN: Halo, mohon maaf minggu lalu cuma update sekali, aku sedang ✨berlibur✨ dan malah menulis di platfom lain. Tapi, tulisan ini juga sebentar lagi akan selesai (rencananya). Per hari ini, di Word aku, naskah GBY yang asli sudah ada di 41.000 kata lebih, bisa dibilang setebal novel 300 halaman. Jadi, terima kasih teman-teman yang selalu meninggalkan vote, komentar, dan dukungan, it's means a lot to me 😬 terima kasih sudah membaca GBY sampai di bab ini. I never thought that someone will read my work tbh.
"Bangun, Ra." Nakula ada di samping Bathara yang napasnya memburu. "Mimpi buruk?" Ia membangunkan Bathara setelah beberapa kali ia dapati tidurnya tak nyenyak. Alisnya berkerut, kadang juga ada racauan tak jelas, kepalanya menoleh ke kanan dan kiri secara acak.
Bathara membuka mata, langsung ia alihkan pandangan ke langit-langit, ada kelambu putih yang menjuntai di keempat sisi tempat tidurnya. Sedang yang menjadi pusat perhatian Nakula adalah bayangan gelas yang ada di pelupuk mata Bathara.
"Ra, kenapa?" Nakula menepuk dada Bathara perlahan, dengan ritme yang teratur, "Kamu nggak apa-apa?"
"Nggak apa-apa." Jari Nakula mulai menyeka satu lelehan air mata yang tumpah dari benjananya, kemudian mengusapnya perlahan dengan ibu jari.
"Lalu kenapa nangis?" Kamar ini menjadi sedikit pengap. Seperti dikurung dalam ruang sempit. "Aku ada salah?" Kalimat itu diucapkan dengan lembut, ringkih. Tak menghakimi, hanya sebaris kalimat untuk memastikan. "Hm?"
Bathara menggeleng, sedang Nakula lihat dengan pasti, ekspresi milik Bathara yang lama-lama berubah. Mengembik, kemudian dengan kuatnya air matanya meleleh, deras. "Aku paling nggak bisa ditanyain 'apa kamu nggak apa-apa.'" Pada akhirnya, tangis milik Bathara pecah. Air mata itu meleleh satu persatu, perlahan.
Langit di luar sepertinya lebih bersahabat dibandingkan hari-hari lalu meskipun lagi-lagi hujan membilas Kota Surakarta hari ini. Dingin. Menggigit. Namun, di kamar ini terasa hangat, dua lampu redup kekuningan di ujung beranda sebagai penerangan, pendingin udara yang beberapa waktu lalu dimatikan, selimut tebal, dan secangkir teh yang asapnya masih mengepul, baru saja dibawa.
"Oke, mau aku ajarin sesuatu nggak, Ra?" Nakula mendudukkan dirinya. "Aku punya mantra luar biasa kalau sesuatu yang aku nggak suka datang. Namanya... mantra hitungan."
Pandangan mereka berdua bertemu.
"Ayo rentangkan tangan kamu dulu." Nakula menuntun Bathara dengan hati-hati. Membawanya untuk duduk. "Peluk, Ra, peluk dirimu. Dekap yang erat."
"Satu...pejamkan mata, tarik napas, Ra. Pelan-pelan. Mari hadapi kekhawatiran itu bersama-sama, Ra. Peluk semua luka-luka yang kamu rasa." Nakula memulai aba-aba dengan mengabsen semua jari-jari Bathara. Mengingatkan Bathara untuk bernapas, lagi, tenang, teratur, pelan-pelan.
"Dua... Lepaskan luka-luka itu, Ra. Ikhlaskan, biar semuanya sembuh. Lepaskan marah dari lisan juga pikiranmu."
Nakula merentangkan tangan milik Bathara. Membuatnya terbuka, kemudian masuk ke dalam rengkuh itu.
"Tiga... peluk aku, Ra. Kamu punya tempat berlindung dari semuanya. Kamu nggak sendiri. Kamu bisa cerita, Ra...,kamu, 'kan, punya aku."
Dalam dekapan itu. Bathara rasakan semua keraguannya mulai runtuh. Ada beberapa beban yang semakin lama semakin kecil, kemudian menjadi terasa lebih ringan.
"Bagi, Ra. Jangan telan sendirian."
Nakula semakin mengeratkan pelukannya, membiarkan sesak yang sudah lama ditahan mendobrak pintu pertahanannya. Tangisannya lebih keras dari yang sudah-sudah. Teredam di dalam dekap milik Nakula. Aroma citrus dan sabun mandi rumahan itu membuat Bathara sedikit tenang. Ia mengingat perasaan ini, perasaan aman. Di tempat paling nyaman di muka bumi; di dalam dekapan milik Nakula.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gotta Be You - Jaemren
RomanceSurat-surat tak pernah diterima, jarak yang membentang, dan seberkas cahaya senja yang rebah di cakrawala. Bagi Bathara, hidup harus berjalan sebagaimana mestinya: meskipun kehilangan orang yang paling dicintai memang tak memiliki penawar. Ia menge...