Kami menamai makhluk itu Gloriam. Di rumah milik Helio ini, aku akan membiarkan kucing itu untuk menjadi singa bagi kawanannya sendiri. Meskipun sekawanan itu berarti sekawanan semut berderet dan juga para katak yang hanya keluar ketika hujan di pagi hari. Helio yang menghadiahkan mahluk berbulu itu untukku. Ia juga bilang, jika berbicara dengan manusia begitu sukar, maka aku bisa berbicara dengan Gloriam. Aku harus mengungkapkan apa yang aku rasakan. Dengan begitu, perasaan itu tak berbalik membunuhku.
"Kamu ngapain?"
Aku membiarkan pertanyaan itu tak berjawab. Masih mengamati langit yang mendung di ufuk barat. Melihat bagaimana angin menerpa ujung-ujung padi yang baru disemai. Sawah di belakang rumah Helio ini seolah menjadi panorama sederhana yang cuma kami yang bisa menikmati. Tinggal ditambahkan dua bangku kecil, dan satu buah ayunan yang muat bertiga, dan tanaman kecil berduri. Kami siap untuk membuka lembar-lembar lain, cerita-cerita lain, yang mungkin kami berdua juga tak kunjung paham apa yang akan kami jelajahi.
Dulu, aku ingin rumah yang menghadap pantai.
Dulu, aku membayangkan setiap sore menapaki tangga mercusuar, kita akan memandang batas senja yang lenyap ditelan lautan. Memandangi satu rasi bintang yang paling aku suka, dan melihat rumah-rumah ikan yang panjang di antara batu batu karang.
Dulu, aku punya rencana-rencana sederhana.
Dulu, itu yang aku perjuangkan.
Begitu saja sudah cukup. Pahamku. Inginku.
Helio membuka lengannya, mengecup beberapa kali puncak kepalaku sedangkan Gloriam sedari tadi masih berada di tengah kami. Seolah rambut yang bahkan belum aku cuci, yang entah memiliki bau apa, tidak menjadi masalah untuknya. Ia betah berlama-lama di sana. Kaos longgar bergambar karakter Snoopy kontras dengan Helio masih rapi dengan setelan kemeja putih dan jas yang sudah tanggal di sebelahnya. Ekor mataku sesekali melihat dari lubang jaring-jaring loftnet yang menopang tubuh kami, melihat birunya air, membayangkan jika hammock ini tak kuat menopang kami akan langsung terjun bebas kedalaman kolam di bawah.
"Do you miss me?"
Aku menggeleng dalam pelukannya. Aku rasakan kedua pelukaanya justru semakin erat. Ia mencium kedua telapak tanganku, sembari aku masih membenamkan wajah di dalam pelukannya lebih dalam.
"Wangi." Ia mengecup untuk kedua kalinya, "Mama tadi ke sini, nggak?"
Aku menggeleng.
"Hmm, masih butuh waktu. Nggak apa-apa, kan?"
"Mama masih nggak suka aku, ya?"
"Bukannya nggak suka." Helio memberikan jeda sejenak, seolah memikirkan ameliorasi apa yang harus digunakan agar kalimat-kalimat itu tak seburuk kenyataan. Agar aku nyaman mendengarnya. "Mama masih butuh waktu."
Apa perasaan yang lebih buruk dari tidak diterima?
Helio merasakan aku yang tanpa reaksi. "Nggak usah dipikirin. Toh, bukannya mama benci.
Mataku membola. Kami tidak bertemu selama sepekan. Helio harus pergi ke daerah Muntilan untuk menjadi dokter relawan, sedangkan aku hanya berdiam diri di rumah.
"Mungkin hari ini aku pulang."
"Pulang?"
"Pulang ke rumah. Rumahku." Helio memicingkan mata, "Mau aku anter?"
"Nggak usah, bawaanku juga sedikit. Aku kangen Simbok, kangen Bapak, kangen kamarku."
"Nggak apa-apa?"
Aku hanya tersenyum, mencoba menanggalkan semua keraguan yang hadir dan tercetak jelas di raut milik Helio. "Mungkin juga bagus buat aku, belakangan ini aku butuh waktu sendiri. Lagi pula, kamu habis ini harus pergi lagi ke Muntilan, kan? Aku sendirian di rumah ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Gotta Be You - Jaemren
RomanceSurat-surat tak pernah diterima, jarak yang membentang, dan seberkas cahaya senja yang rebah di cakrawala. Bagi Bathara, hidup harus berjalan sebagaimana mestinya: meskipun kehilangan orang yang paling dicintai memang tak memiliki penawar. Ia menge...