"Mak Iwak, apa makanan yang bisa kamu olah dari singkong ini?" Satu-satunya tanaman yang tak terdampak dari hujan abu; tanaman singkong. Umbinya siap dipanen begitu butiran abu tebal itu turun menerjang. Namun, karena tak bisa dijemur dan langit masih gelap akibat absennya matahari, masa simpannya akan menjadi begitu singkat.
Dengan begitu, oleh Batahra, dibangunlah di tengah-tengah kapanewon. Dapur umum yang akan dikepalai oleh Mak Iwak. Berhari-hari mengolah singkong menjadi tepung dan dibagikan ke tiap-tiap rumah. Dikeringkan dengan menyalakan tembikar yang dibuat dari abu yang dipadatkan. Sedang tersiar kabar bahwa salah satu dusun banyak dihuni oleh para lansia, beberapa dari mereka tinggal sendirian dan hanya mengandalkan kiriman uang dari anak-anaknya yang mengelana sampai kota. Uang kiriman yang mungkin bulan ini dan seterusnya tak lagi mereka kirimkan sebab di kota pun sama parahnya. Kini lahan-lahan tani yang mereka olah tak dapat lagi berdenyut, mati.
"Jiwa mereka adalah ladang hijau, itu, Wijaya." Bathara masih menapaki jalan terjal yang ada di dusun ini, Klentheng mengekor di sampingnya. "bukan pandemi yang akan menghancurkan jiwa mereka. Tapi tanah yang mereka olah. Ketika tanah itu mati, mereka juga mati, Wijaya." Klentheng hanya mengangguk dengan samar, masih mendorong gerobak di belakangnya yang berisi bibit-bibit tanaman. Bibit yang Bathara dapat dari menyurati orang-orang kepercayaan kakeknya. Bathara kemudian meletakkan bibit itu satu persatu di halaman tiap-tiap rumah. Meminta mereka untuk kembali menanam, untuk mencukupi diri mereka sendiri. "Mereka justru akan suntuk jika terus-terusan di rumah, Jaya. Lihat, rumah-rumah ini berjarak begitu jauh satu sama lain. Begitu pula dengan ladang-ladang mereka yang harus menempuh berkilo meter. Mengurung mereka di dalam rumah hanya akan menambah kesengsaraan karena tak bisa makan."
Bathara mengingat ucapan Nakula: bahwa rakyat mereka yang berbeda juga membutuhkan perlakuan yang berbeda. Oleh karena itu, Bathara meminta masyarakat desa pesisir tetap untuk melaut dalam kelompok-kelompok kecil. Membangun solidaritas saling memiliki dengan menukarkan ikan-ikan itu dengan hasil pertanian, saling mencukupi satu sama lain. Sedangkan ia sulap balai-balai desa untuk mereka yang membutuhkan isolasi, meminta Mak Wangi untuk menginspeksi desa-desa yang kotor. Membersihkan puskesmas yang terbengkalai, juga rumah-rumah mereka yang kembali dari sakit.
Di temaram lampu minyak, di malam-malam yang lain, Bathara akan duduk di serambi rumahnya. Dengan papan tulis yang didapatkan dari mengobrak-abrik gudang. Ia sulap halaman rumah itu menjadi sekolah dadakan. Sudah lebih dari tiga bulan sekolah berhenti, mereka saja tak punya cukup biaya untuk melanjutkan ke jenjang berikutnya, apalagi untuk mencukupi kebutuhan pembelajaran jarak jauh. Lagi-lagi, orang tua mereka tak mengerti bagaimana cara mengajari dengan ilmu pengetahuan yang semakin lama semakin terasa jauh: perhitungan matematika yang semakin lama semakin rumit, sedang selama ini yang mereka tahu hanya berapa kilo jagung yang harus dijual untuk menyambung hidup di keesokan hari. Bahasa Indonesia yang tak lagi belajar dengan siapa Budi pergi ke pasar, tetapi juga harus membentuk teks eksposisi dan naratif. Bathara hadir, barangkali masih banyak kurangnya, tapi itu satu-satunya yang bisa ia lakukan di waktu yang sangat sempit ini.
Tengah malam, waktunya ia menjelma bersama Mak Cadas. Dengan alat perlindungan diri yang terbatas dan terlalu sering dikenakan tanpa diganti, jubah itu semakin lama berubah warna menjadi coklat. Ia datang ke ruang isolasi. Dengan lampu minyak di pegangannya, ia memasuki satu demi satu kamar yang dibuat secara dadakan di balai-balai. Ruangan itu disekat dengan kayu tipis seadanya. Bathara akan duduk di samping ranjang, terkadang hanya sejenak. Terkadang juga menemani mereka karena sakit yang semakin terasa ketika malam menjelang. Bathara akan mengobrol hangat dengan jarak yang aman. Lalu beralih ke pasien yang lain.
Pasien yang keluar dari balai itu kian lama semakin banyak. Dari mereka menyebarlah cerita tentang sosok bertudung coklat yang merawat mereka bergantian dengan para dokter dan perawat. Sosok bertudung coklat itu memberikan apa yang tak dokter dan perawat beri: sebuah obrolan singkat sebab terkurung dalam ruang kecil tanpa teman bicara membuat mereka kadang lupa bisa bicara. Satu mulut berbuah ke mulut yang lainnya, hingga pada saatnya warga daerah tersebut mulai bahu-membahu membantu apa yang Bathara usahakan. Anak-anak muda bergiliran menjaga perbatasan, sedang para Ibu membantu mengantarkan bahan makanan di tiap-tiap dusun. Daerah pinggiran yang tertinggal berdenyut dengan caranya sendiri.
—-
"Mereka bertahan dengan ketersediaan apa adanya."
Semua orang di ruangan itu terdiam. Bagaimana mungkin, pandemi ini menyerang hampir di setiap wilayah sama rata. Kebijakan raja yang telah lalu menyepakati bahwa mereka akan memusatkan perhatian di kota besar. Dengan banyak penduduk dan juga padatnya rumah satu sama lain. Percuma saja menaruh acuh pada daerah pinggiran yang infrastruktur dan sumber daya manusianya terbatas. Tak ada rumah sakit, hanya ada dua puskesmas yang hanya bisa menangani penyakit ringan. Jumlah jiwanya pun tidak seberapa, jika dibandingkan dengan kota yang satu rumah bisa dihuni oleh dua keluarga. Atas pertimbangan-pertimbangan itu, Raja mengabaikan daerah pinggiran ini. Dengan kata lain; membiarkan mereka mati perlahan.
Ini juga yang menjadi pertanyaan besar di benak Nakula, lalu mengapa Raja mengirimkan Bathara ke daerah itu?
"Aku benar-benar tak mengerti semua ini. Bagaimana Rama bisa ambil kesimpulan seperti ini, mengabaikan rakyatnya sendiri?" Nakula membuka suaranya setelah keterdiaman begitu lama, ia hanya mencoba memahami apa yang sebenarnya tersembunyi.
"Keterbatasan dana menjadi alasanya, Gusti."
"Bukan itu. Ada hal lain..." Nakula berdialog dengan dirinya sendiri, namun ia tak menemukan jawaban selain ini: ada siasat buruk yang sebenarnya disembunyikan oleh Rama.
—
"Gusti..."
"Kenapa, Jaya?" Malam ini bintang bertaburan di langit, semakin jelas karena mereka ada di ketinggian. Sedang pada malam yang sama di tempat lain, ada yang sibuk menumpuk mayat, satu liang untuk bersama.
"Mak bilang pesan Gusti sudah dibalas."
"Benar?"
"Benar, memang sukar sinyal di pegunungan ini. Mak bilang kalau pemancarnya baru lancar di pukul sepuluh sampai satu. Sisanya benar-benar hilang." Klentheng menjelaskan dengan terperinci apa yang Mak Cadas sampaikan tadi kepadanya. Daerah ini ada di pinggiran, mungkin listrik baru masuk satu dekade yang lalu. Hanya ada satu jalan utama yang bisa dipakai untuk sampai ke tempat ini.
"Terima kasih, Jaya." Bathara tersenyum, tangannya sibuk mengelus rambut Klentheng yang semakin memanjang. Jika Klentheng bisa bicara, ia suka dengan Bathara yang terus memanggilnya dengan namanya, Wijaya, ketika semua abdi memanggilnya dengan nama dari isi kapas itu. Bathara mengingatkannya dengan Mak, Mak juga memanggilnya dengan namanya. Ia seperti didoakan ketika disebut namanya. Wijaya, kemenangan, dan setiap Bathara memanggilnya seperti itu, rekah hatinya menumbuhkan bunga pengharapan bahwa di hidup ini ia akan memenangkan segala pertaruhan.
"Gusti?"
"Kenapa, Jaya?"
"Kenapa Gusti terus memanggil saya dengan nama Wijaya atau Jaya?"
"Bukankah itu namamu?" Bathara memandangnya dengan senyum.
"Semua orang bilang kalau nama itu terlalu baik."
Bathara meletakkan buku ke pangkuannya, membiarkan kedua tangannya kosong. Kemudian ia tepuk tempat duduk di sebelahnya. "Jaya tahu, seberapa banyak seberapa banyak manusia mati sebenarnya?"
"Sekali...?"
"Dua," Tawa itu menguar dari mulut Bathara ketika memandangi Klentheng yang sama sekali tak punya jalan terhadap apa yang sedang terjadi.
"Ketika mereka ditutup liangnya, pada pemakaman. Kedua, saat mereka berhenti disebut namanya." Jeda itu berisi nyanyian tonggeret, sebelum kemudian Bathara melanjutkan, "Dan aku ingin menjadi bagian yang mengingatmu, Jaya. Siapakah manusia yang punya kuasa untuk menentukan mana yang pantas dan mana yang tidak?"
Klentheng melihat jam di serambi depan, beberapa bulan ini batas antara hidup dengan menyerah hanya seperti sekat tipis. Membicarakan kematian... sudah terlalu penuh dan sesak baginya.
"Namaku Bathara. Panggil aku seperti itu, Jaya. Ingat aku, terus." Kedua tangan Bathara mengarah pada pundak Klentheng yang bergetar, "Namamu Wijaya, dan selamanya akan terus begitu."
Klenteng hanya tak mau, kematian dan Gusti Bathara berada pada bait yang sama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gotta Be You - Jaemren
RomanceSurat-surat tak pernah diterima, jarak yang membentang, dan seberkas cahaya senja yang rebah di cakrawala. Bagi Bathara, hidup harus berjalan sebagaimana mestinya: meskipun kehilangan orang yang paling dicintai memang tak memiliki penawar. Ia menge...