TW: PTSD, Suicidal Thought
Sudah tiga kali Helio datang ke rumah ini, sudah juga Simbok menghidangkan secangkir rebusan air jahe dan gula merah di tiap kunjungannya. Ia akan pulang pada larut-larut malam, entah apa yang dilakukannya. Bermain catur dengan Mas Pardi, menonton latihan pertunjukan yang digelar setiap pukul sembilan di Kamis malam, dan kulihat ia sesekali menatap ke arah jendela kamarku yang kini dipindah tepat di bagian sayap timur rumah.
"Mas Helio masih mau nunggu, Den." Simbok datang kedua kalinya ke kamarku, "Apa nggak sebaiknya ditemui saja?"
Aku menggeleng. Tepat di hadapan cermin hari ini, aku melihat kedua sayup bola mataku, mengamatinya perlahan. Kali ini, kali pertama aku melihat binar pada kedua kelopak mataku, binar yang redup empat tahun yang lalu. "Bathara belum mau, Mbok. Bilang saja kalau dia seharusnya pulang."
"Sudah Simbok bilang berulang kali, Den. Tapi, Mas Helio selalu menjawab dengan hal yang sama." Saya akan tunggu Bathara, Mbok. Sampaikan pada Bathara saya akan menunggu kapanpun dia siap. Simbok mengulang ucapan Helio dengan intonasi rendah. "Simbok cuma takut, sebentar lagi hujan."
"Biarkan, Mbok. Helio sudah dewasa. Dia bisa tetap teguh dengan pendiriannya. Itu pilihannya."
"Tapi, kan, Den-" Simbok belum menyelesaikan kalimatnya sebelum aku bangkit dari kursi di depan cermin rias. Aku memilih melangkah menuju perpustakaan rumah ini, menghabiskan malam dengan membuka beberapa kotak berlogo Washington University. Mengambil beberapa buku, transkrip catatan babad dari keraton yang belum selesai aku salin, dan setumpuk surat yang berjejalan di bagian atasnya.
Surat yang kukirimkan untuk Nakula.
Surat yang tak pernah diterima.
Surat yang tak pernah dibaca.
Aku memandangi tumpukan surat itu dengan nanar. Cahaya lampu kekuningan yang membasuh bagian permukaan kertas itu menampilkan beberapa noda, beberapa bagian juga mulai lapuk dimakan usia. Satu di bulan Juni, dua di bulan Mei, dan tiga di bulan Desember. Makin lama, bukanya semakin surut, jumlah itu bertambah banyak. Dan mulai berhenti ketika aku bertemu dengan Helio.
Aku selalu ingat bagaimana Nakula selalu bilang padaku, 'kamu bisa cerita semuanya sama aku, Ra. Kamu bisa cerita sama aku lewat berbagai cara'. Tapi nyatanya, kamu bohong, Na.
Surat-surat itu selalu dikembalikan sebulan setelahnya.
Tak pernah dibaca, bahkan tidak dibuka.
Nakula, kamu selalu menjadi manusia yang tak bisa dipegang janjinya?
Bayangan Nakula dua tahun setelah kepergiannya seolah mengikutiku. Pikiranku memunculkan halusinasi-halusinasi, menggambarkan Nakula masih selalu mengikutiku, mengambil langkah di sampingku. Namun, beberapa orang bilang bahwa ia tak nyata. Ia hanya khayalan.
Simbok menangis saat itu ketika tatapanku habis kosong. Bapak memelukku erat di malam-malam panjang, memberikan beberapa elusan di punggung, dan menghabiskan seminggu penuh bersamaku. Berminggu minggu setelahnya aku hanya memandangi langit-langit kamar. Berbincang dengan bayanganmu.
Tepat pada satu ketika, setelah pertama kali akhirnya muncul usahaku untuk menyusulmu. Semua hal-hal sedih menjadi kenyataan. Rumah sakit, obat-obatan, tali yang mengikat erat pergelangan tangan, dan juga berjam-jam yang kuhabiskan dengan menangis. Aku hanya termangu ketika dokter mendiagnosaku mengalami post traumatic disorder. Dia bilang bahwa ada satu kejadian buruk yang sangat membekas untukku.
Itu tidak benar, kan, Na? Kamu tak akan melakukan itu padaku, kan, Na?
Pikirku waktu itu, Nakula tak mungkin melakukannya. Aku tak ingin percaya. Tapi, kenyataan menamparku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gotta Be You - Jaemren
RomanceSurat-surat tak pernah diterima, jarak yang membentang, dan seberkas cahaya senja yang rebah di cakrawala. Bagi Bathara, hidup harus berjalan sebagaimana mestinya: meskipun kehilangan orang yang paling dicintai memang tak memiliki penawar. Ia menge...