Di Akhir Nanti

814 126 64
                                    


Pada waktu yang hampir berdekatan dengan penobatan Nakula sebagai raja. Dilangsungkan perkawinan dua bagian kerajaan yang pernah menjadi satu. Tak begitu mewah, sebab perkawinan kedua dan seterusnya bisa jadi sebuah bukti: bahwa Raja sebenarnya juga manusia biasa– ia diliputi napsu, hasrat, dan membuat pilihan yang salah-- ia bukan manusia setengah dewa. Di ujung langit sana, Bathara melihat matahari mengukir awan yang memintal gelap belakangan ini. Seperti plastik yang berlubang, cahaya pelan-pelan keluar dari gumpal awan.

Bathara beralih pada bayangannya di cermin. Ia sekali lagi melihat gurat yang ditinggalkan oleh tangis. Air mata itu habis, tak ada lagi persediaan, napas yang tercekat pun sudah kembali teratur. Jarinya menelusuri kelopak matanya, inilah tempat ditinggalkannya semua kesedihan, semua rasa yang sulit diutarakan. Tempat berkumpulnya manis dan asinnya kehidupan. Belanga yang perlahan terisi dengan sejuta rasa. Tempat yang membiarkannya terpasung dalam penantian yang begitu lama.

Untuk Nakula, kamulah orang pertama yang membuatnya merasa diterima. Merasa apa yang Bathara rasa, bersedih untuk segalanya susahnya. Nakula, orang pertama yang mengerti.

Kepergian Nakula dulu membuatnya terus bertanya: Akankah ia kembali? Bangkit dari kubur, atau mukjizat lain yang disampaikan Tuhan melalui berbagai cara? Atau ini hanya mimpi buruk, mimpi buruk yang terlalu lama hadir sambangi tidur yang tak berkesudahan.

Ketika Nakula kembali membersamainya, pertanyaan itu kembali muncul: Akankah ia akan mengingat segalanya?

Ketika mereka telah bersama, pertanyaan lain datang: Akankah ia merasa apa yang Bathara rasa?

Dan pertanyaan ini yang pada akhirnya menyelesaikan hubungan mereka: 

Akankah selalu Bathara yang menjadi utama?

Pertanyaan itu kemudian beranak seperti buih di lautan. Membiarkannya hilang ditelan ombak ataupun bertambah banyak karena terpecah batu karang.  

Lagi-lagi, hidup adalah tentang menjawab dan mempertanyakan. Tanpa malu, bolehkah Bathara mengambil kesimpulannya sendiri?

"Mobilnya sudah siap, Gusti." Bathara membiarkan tangannya mengambang di udara. Ia biarkan juga Mak Cadas dari ambang pintu membeku, tak bergerak, tertahan. Baju-baju yang telah tertata rapi, juga beberapa perkakas yang telah dimasukkan ke dalam boks-boks cokelat. Ia lupakan simpul, membuat beberapa sisi terbuka.

"Hari ini, Bapak yang akan mengantarkanku, Mak Cadas." Akhirnya seperti ini... memang begini akhirnya. Bathara berdiri, pelan langkahnya menelusuri setiap sisi rumah. "Jangan menangis, Mak. Sungguh, tak cocok dengan perawakkanmu. Mak Wangi, diamlah. Kau bisa mengunjungiku di rumah nanti. Mak Iwak, sudah cukup... kau mau memasak untuk seisi kampung?"

Bathara berbalik arah, membiarkan punggungnya ditatap oleh para abdi yang selama ini hidup bersamanya. Ketakutan itu seketika menyerang, jika berbalik, ia pasti akan ragu. Maka dengan raut muka tanpa senyum itu, ia acuh. Ia biarkan langkahnya yang mati rasa ini membawanya. 

Namun, di depannya ada Wijaya yang menghadangnya. Merentangkan kedua tangannya, dan menghalangi jalannya. Bathara lantas duduk bersimpuh.

"Wijaya, bilang padaku. Apa yang harus kamu lakukan setelah ini?"

Wijaya meresponsnya dengan terus menangis. Bathara sedikit merunduk, membiarkan bahunya direngkuh dengan erat.

"Ingatlah, sebab ingatan adalah lumbung kerinduan, kamu tak akan pernah bisa merindukan seseorang ketika kamu melupakannya. Tulislah, sebab pikiran lebih tumpul dibandingkan pena. Tuturlah, sebab ucapan adalah senjata paling menakutkan yang dimiliki manusia. Refleksikanlah, sebab manusia yang gagal adalah mereka yang tak pernah bisa berkaca. Tanamlah, sebab siapa yang menanam pasti akan menuai, sebab dalam perang, mereka yang mengangkat busur lebih dulu adalah mereka yang merugi." Bathara membiarkan Wijaya terus menangis di dalam dekapannya, "Semoga Tuhan senantiasa memelukmu, semua gundah dan resahmu."

Gotta Be You - JaemrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang