"Astaga, Sri! Dicari dari tadi, ternyata ada di sini." Wanita tua berkebaya dan bersanggul sederhana mendaratkan satu pukulan di punggung, "kamu jangan ganjen dan sembarangan peluk-peluk orang, ya!" hadriknya sekali lagi."Aw, Buk, sakit, jangan dijewer juga! Malu." Sakit yang ada di punggung belum mereda, digantikan dengan rasa panas yang menjalar dari telinga hingga wajahnya. "Ada Mas Nakula ini lho!"
Wanita itu kemudian mengalihkan pandang pada sekeliling, ia melihat Nakula yang duduk dengan senyuman khasnya, lantas merepet dan menepuk-nepuk kepalanya sendiri sebagai tanda sesal, lupa sudah unggah-ungguh yang seharusnya ia lakukan, "Nyuwun ngapunten, Gusti." Wanita tua itu kemudian melakukan kurmat, dilanjutkan berbisik kepada wanita yang bernama Sri tadi, "Sri, minta maaf."
Sri lakukan hanya mengomel, berkata bahwa mereka sudah cukup dekat untuk berbagi peluk. Namun, setelah diberi ribuan petuah, ia mau tak mau harus menurut, "Maaf, Mas Nakula." Setelahnya, Sri masih menempel dengan Nakula, mengapit satu lengan dan bergelayut di sana.
"Gusti Nakula, yang benar jika menyebut. Kamu abdi keraton, sudah sepantasnya paham." Bathara melihat ini sebagai satu kontradiksi: nama itu menjadi sebuah simbol, memisahkanmu dari sekelompok manusia yang lain, seolah pantas untuk diistimewakan. Sedang yang ingin Nakula lakukan adalah berbaur, mengaburkan batas-batas yang justru dikukuhkan oleh beberapa orang. Ia paham, Nakula tak akan mempermasalahkan ini.
"Mohon maaf, Gusti Nakula," ulang Sri sekali lagi. Nakula hanya membalasnya dengan gelengan, merasa tak keberatan maupun tersinggung atas tindakan atau ucapan Sri tadi. Tepat seperti dugaan Bathara.
Simbok menatap Bathara tak enak.
Sedari kecil, Sri tinggal di Mangkunegaran. Sebagai anak dari seorang abdi senior di Departemen Langenpraja, yang mengurusi bidang kesenian, ia besar dengan limpahan kasih sayang semua orang di Mangkunegaran. Ia didik menjadi salah satu praja yang ahli dalam menari. Begitupun saat Nakula dikirim untuk belajar tarian gaya Surakarta*. Mereka digambarkan sebagai pasangan menari yang serasi. Nakula akan berperan sebagai Gatotkaca sedang Sri yang akan jadi Pregiwa-nya, Rama dan Shinta, Arjuna dan Banowati, gerak mereka selaras dan serasi. Sri adalah Nakula, dan Nakula adalah Sri.
Rasa cinta itu kemudian tumbuh tanpa perlu dipupuk.
Pada diri Sri. Wanita yang dibesarkan di lingkungan keraton. Sudah pasti Nakula layak bersanding dengannya. Begitu pikirnya.
Siapa juga yang lebih serasi dengan Nakula dibandingkan dirinya?
Tumbuh begitu subur, hingga Sri remaja yang tumbuh dengan harapan bisa menjadi pendamping Nakula. Sama seperti ketika mereka menari. Mereka akan jadi pasangan yang sama serasinya. Namun, pupus ketika kenyataan Nakula telah dijodohkan.
Harapan itu semakin mekar dengan kabar bahwa Nakula kembali hidup. "Pasangan Mas Nakula itu ndak becus!" ucap Sri kepada Ibunya ketika Nakula kembali, yang oleh orang-orang sebut dengan bangun dari mati. "Bisa-bisanya pasangannya itu ndak tahu kalau Mas Nakula selama ini masih hidup. Mereka itu dipaksa! Cinta yang seperti itu ndak akan bertahan lama!"
"Kamu masih berhutang satu permintaan maaf lagi, Sri." Sri paham dengan perintah barusan, meminta maaf kepada orang di samping Nakula, pasangannya. "Cepat, malah diam saja." Wanita tua itu terlihat keras. Gurat-gurat usia tergaris dalam di bagian samping matanya.
Sedang Bathara tak membutuhkan permintaan maaf itu.
"Harus?" Sri bertanya, dari air mukanya Bathara tau Sri enggan. Bathara pun tak menuntut. "Aku ndak sudi minta maaf sama orang itu." Sri menunjuk Bathara, tepat di mukanya. "Dasar Perebut!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Gotta Be You - Jaemren
RomanceSurat-surat tak pernah diterima, jarak yang membentang, dan seberkas cahaya senja yang rebah di cakrawala. Bagi Bathara, hidup harus berjalan sebagaimana mestinya: meskipun kehilangan orang yang paling dicintai memang tak memiliki penawar. Ia menge...