Pada Akhirnya, Kita Memang Tidak Ditakdirkan Untuk Bertemu

817 137 13
                                    


Sore ini aku mengenang senyummu. Pada pucuk-pucuk ombak yang bergulung. Pada perahu yang timbul dan tenggelam. Pada riak yang muncul di batu karang. Pada senja yang rebah di pucuk gelombang. Aku memikirkan beberapa hal yang berlalu di hari-hari belakang. Sejujurnya... banyak hal. Tentang Helio, tentang Mama, tentang sesuatu yang belum benar-benar terjadi, dan tentang masa depan yang masih meraba-raba. Aku tak tahu, pada perjalanan ini, di muara mana yang aku akan menuju.

Mengenang senyummu juga berarti membawa kenangan yang telah berlalu. Mendung pada akhirnya akan bebas untuk berkunjung. Dan, kamu akan tetap datang meski tak diundang, yang anehnya, meski sakit, perasaan itu candu untukku.

Perasaan ini membuatku untuk menyadari bahwa kamu pernah singgah. Kamu bukan sekadar bayangan dan ilusi yang otakku ciptakan. Kamu benar-benar nyata, Nakula.

Payah, air mata ini jatuh lagi.

Aku mengingat bahwa kita pernah sepakat untuk punya rumah di ujung pantai ini. Punya satu peliharaan, bebas dari asap dan polusi kota, dan setiap malam menerjang, kita akan berdiri di batas dua dunia. Menyaksikan bagaimana ombak menghapuskan jejak yang kita tinggalkan. Bagaimana cahaya rembulan menjadi satu-satunya kompas yang kita punya. Kita akan berbaring di tepi pantai yang tak terkena pasang. Kamu bilang, nanti, kita akan menghabiskan masa tua dengan menghitung bintang, meski langit malam sepolos kanvas, meski kantuk datang, dan meski kita punya kesibukan-kesibukan lain. Kamu bilang ini janji kecil untuk kita kenang nanti.

Ohiya, Na, apa aku sudah bilang? Sejujurnya aku tak lagi menyenangi bintang-bintang. Aku menyembunyikan peralatanku di gudang. Aku juga tahu, Simbok kadang masih sering mengelap teropongku, memberikan minyak-minyak pada sekrupnya, kadang juga menyemprotkan anti karat pada tuas-tuasnya. Rasi bintangku runtuh. Aku membencinya sebagai upaya untuk melupakanmu.

Lalu, katakanlah padaku. Siapa yang lebih egois, aku yang mencoba melupakanmu atau kamu yang pergi seenaknya?

Mereka bilang, untuk menuju lupa. Kita harus mengeliminasi banyak hal. Dan usahaku melupakanmu cukup beragam.

Aku pergi ke negara lain. Aku mencoba mengenyahkan semua sudut-sudut Jogja dalam ingatanku. Setahun yang lalu, bahkan aku tak ada pikiran untuk pulang. Aku bertemu dengan orang yang mencintaiku tulus.

Tapi aku salah, kita memang berencana. Dan, Tuhan biarkan semuanya porak-poranda. Bahkan saat ini, ketika aku mengingatmu, aku bahkan tak sekalipun merasa bersalah pada Helio. Apakah aku memang tak layak dicinta?

Berbicara tentang Helio... ia sedikit mengingatkanku tentangmu. Jahat. Aku memang jahat. Bahkan setelah kau meninggalkanku, aku masih mencari dirimu pada diri orang lain. Aku masih mencari Nakula di diri Helio. Teduh dan rengkuh milikmu. Kedua bola matamu. Bagaimana kalian sama-sama menyukai lagu lama dan bagaimana kalian membuatku merasa bahwa aku pantas merasa dicintai setelah kepergian Ibu.

When things get hard, I tend to escape from that. Like what I did right now. Pergi ke pantai di daerah Bantul, mendaki batu karang yang cukup tinggi, kemudian duduk dan merasakan angin kencang menerpa tubuh, dan tempias air yang dibawa angin membuat seluruh wajahku terasa asin. Di tempat yang bahkan aku takut kunjungi pada beberapa waktu yang lalu, kini menjadi tempat teramanku.

Mungkin juga karena di laut ini, ikut juga dilarung barang-barang peninggalanmu, Na. Kuku-kuku setelah dipotong, rambut sisa bercukur, pun juga dengan beberapa barang-barang kesayanganmu ikut dilarung di tempat ini, Na. Setidaknya dengan begitu, aku bisa merasakan kehadiranmu yang terasa nyata.

Kenapa aku begitu plin-plan, ya, Na? Aku ingin melupakanmu, tetapi satu satunya yang aku lakukan adalah terus mengingatmu, mengenangmu.

I lose enough in this war.

Aku terlalu larut dan bayanganmu semakin kuat tertempel di dinding ingatan.

Na, hidup benar-benar sedang berat-beratnya. Kumohon untuk jangan datang. Jangan buat semuanya menjadi semakin sulit. Setidaknya untuk malam ini, jangan berkunjung ke dalam mimpi seperti yang kamu lakukan di beberapa hari belakang. Tapi kenapa yang hatiku inginkan adalah kamu yang merengkuh tubuhku dan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja?

Na, apa yang harus aku lakukan?

"Lakukanlah... " ada satu desis suara yang membayangi kedua telingaku, "lakukanlah..."

Lompat.

Lompat.

Lompat.

Agar kamu segera bebas.

Na, suara mengerikan itu datang lagi...

Na....

Aku berbohong kepada Helio. Hari itu Mama mengunjungiku. Kami berbicara cukup lama, aku juga menyeduhkan teh camomile untuknya. Saat itu, aku tak menyangka kita akan kompak melakukan sesuatu. Kami sama-sama menangis.

"Bathara, apa kabar, Nak? Sudah enakkan?"

"Sudah lepas dari obat, Ma.. Tapi memang masih perlu kontrol." Mama tersenyum tipis. Mama memang tidak menerimaku, namun penolakan-penolakan itu tak pernah datang dengan ekspresi yang nyata. "Ada apa, Ma?"

Setelah memberikan satu anggukan dengan sorot bahagia yang jujur, ia melanjutkan ucapannya, "Kami lagi-lagi berdebat, Nak. Kali ini sepertinya Helio marah besar." Rautnya berubah, "Helio anak Mama satu-satunya."

Aku terdiam. Ada awan-awan di atas kepala yang membayang.

"Cinta kalian... bisa saja cuma sementara, kan?" Aku terkejut dengan pernyataan barusan, "tidak ada hal yang bisa mengikat hubungan kalian seperti... anak?" Rotasi waktu milikku seakan terhenti. "Cinta seperti milik kalian hanya akan bertahan sementara. Tidak ada harapan, tidak ada hal yang bisa diperjuangkan. Katakan Mama kolot, katakan bahwa Mama memang konvensional, katakan bahwa di zaman sekarang, tak ada yang salah dengan saling mencintai. Tapi, cinta saja tak cukup, Nak." Mama memilih kata-katanya dengan hati-hati.

Sedangkan aku masih bimbang, mau dibawa ke mana percakapan ini?

"Helio bilang kalian sudah mencari surrogate mother, tapi Mama tidak bisa membiarkan anak Mama jadi kriminal. Pun, tidak ada jaminan bahwa kamu dapat memberikan kasih sayang sama besar dengan buah hati Helio. Anak itu tidak akan mewarisi sifat-sifatmu, Nak. Kalian tidak memiliki jalan keluar. Kalian tak berhubungan darah."

Ibu pengganti? Anak Helio?

"Mama ingin anak mama bahagia, dan sepertinya bahagianya tak akan bertahan lama."

Aku mengingat percakapan dengan Helio di balkon apartemen kami di Seattle. Waktu itu, kami membahas bagaimana manusia diciptakan. Bagaimana pada akhirnya keturunan-keturunan manusia akan menjadi miliaran di muka bumi. Saat itu, Tuhan berjanji pada Abraham, bahwa keturunan-keturunanya akan sebanyak bintang-bintang di langit. Mereka bahkan akan diberikan suatu negeri untuk didiami.

Lalu bagaimana dengan diriku?

Helio memandangku dengan tatapan sayang. Aku tahu dari sorot matanya. "Kamu mau punya berapa?"

Aku menanggapinya dengan tawa. Lalu seperti apa respons seharusnya yang diberikan kepada pertanyaan yang tidak ada jawabannya?

"Satu yang mirip kamu, dan satu yang mirip aku. Mungkin cukup?"

Kemudian aku menggeleng. Menganggap bahwa perkataan Helio saat ini hanyalah candaan yang biasa ia lontarkan. Aku merasakan angin panas menerpa wajahku. Satu hari di bulan Juli, Seattle sudah lama tak merasakan hujan.

Saat ini aku tersadar. Tuhan hanya memberikan janjinya pada Abraham dan istrinya, Sara.

Bukan janji Tuhan kepada kita. 

Aku kembali ke realita saat ini. Mama menangis. Dan ketika aku rasakan air mataku juga turun seperti anak-anak sungai, aku merasa bahwa belakangan ini aku terlalu banyak menangis.

"Mama mohon. Lepaskan Helio, Nak."

Helio, Memang seharusnya kami tidak pernah ditakdirkan untuk bertemu.  

Gotta Be You - JaemrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang